
Mekanisme Plea Bargain atau pengakuan bersalah dari terdakwa untuk mendapat keringanan hukuman saat ini tengah digodok dalam RUU KUHAP.
Pakar hukum pidana Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, menjelaskan pelaksanaan Plea Bargain di Amerika Serikat diawali kesepakatan antara jaksa dan terdakwa. Nantinya hakim akan menilai kesepakatan mereka.
"Bila Hakim setuju maka pemeriksaan pengadilan tidak dilakukan, langsung diputus berdasarkan kesepakatan," ujarnya, Jumat (11/7).
Menurut dia, ada kelebihan dan kekurangan dari mekanisme semacam ini.
"Positifnya bisa mengurangi beban perkara khususnya perkara di tingkat banding dan kasasi. Negatifnya bisa terjadi kolusi antara terdakwa, jaksa dan hakim," ungkap Pohan.
"Untuk di Indonesia yang masih diragukan integritas penegak hukumnya, maka perlu dipertimbangkan masak-masak," sambung dia.
Sementara itu, pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar, memaparkan Plea Bargain hanya bisa dilakukan untuk kasus tindak pidana ringan yang hukumannya hanya denda. Tak bisa diterapkan pada tindak pidana berat.
Menurut Fickar, dalam sebuah tindak pidana ada dua aspek hukum yang bisa ditegakkan, yakni penuntutan terhadap perbuatannya secara pidana dan terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana tersebut secara perdata.
"Karena itu pada KUHAP yang lama UU Nomor 8 Tahun 1981, ada ketentuan yang boleh menggabungkan antara tuntutan pidana dan perdatanya," jelas Fickar.
"Artinya seharusnya hanya tindak pidananya yang hukumannya denda saja yang bisa didamaikan melalui tawar menawar hukuman (plea bargain)," tambah dia.
Menurut Fickar, mekanisme juga tak cocok untuk diterapkan dalam tindak pidana berat. Apalagi tindak pidana korupsi.
"Menurut saya tidak bisa dan jangan, karena nanti orang berlomba-lomba korupsi karena bisa damai kalau ketahuan," ungkapnya.

Seluk Beluk Plea Bargaining di Revisi KUHAP
Dalam RUU KUHAP baru salah satunya mengatur soal penyelesaian perkara tanpa harus berakhir di penjara. "Jalur damai" ini mulai dari tingkat penyidikan di Polri hingga tahap penuntutan di persidangan.
Salah satu jalur itu, yakni plea bargain. Pengakuan Bersalah (Plea Bargain) adalah mekanisme hukum bagi Terdakwa untuk mengakui kesalahannya dalam suatu tindak pidana dan kooperatif dalam pemeriksaan dengan menyampaikan bukti yang mendukung pengakuannya dengan imbalan keringanan hukuman.
Berikut isi pasal yang mengatur plea bargain:
Pasal 73A
(1) Pengakuan Bersalah hanya dapat diterapkan dengan persyaratan:
a. baru pertama kali melakukan tindak pidana;
b. terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun atau pidana denda kategori V;
c. bersedia membayar Ganti Kerugian atau Restitusi.
(2) Penuntut Umum menanyakan kepada Terdakwa yang didampingi kuasa hukumnya apakah Terdakwa bersalah atau tidak.
(3) Dalam hal Terdakwa mengaku bersalah, Terdakwa wajib didampingi oleh Advokat dan pengakuan tersebut dinyatakan dalam berita acara.
(4) Pengakuan Bersalah diajukan dalam sidang tertentu sebelum persidangan pokok perkara dimulai.
(5) Dalam hal Pengakuan Bersalah disepakati, perjanjian tertulis dibuat antara Penuntut Umum dan Terdakwa dengan persetujuan Hakim.
(6) Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat sebagai berikut:
a. Terdakwa mengetahui konsekuensi dari Pengakuan Bersalahnya, termasuk pengabaian hak diam dan hak untuk diadili dengan acara pemeriksaan biasa;
b. pengakuan dilakukan secara sukarela;
c. pasal yang didakwa dan ancaman hukuman yang akan dituntut kepada Terdakwa sebelum Pengakuan Bersalah dilakukan;
d. hasil negosiasi Penuntut umum, Terdakwa dan Advokat, termasuk alasan pengurangan masa hukuman Terdakwa;
e. pernyataan bahwa perjanjian Pengakuan Bersalah mengikat bagi para pihak yang menyetujui dan berlaku seperti Undang-Undang;
f. bukti dilakukannya tindak pidana oleh Terdakwa untuk memastikan terdakwa melakukan tindak pidana.
(7) Hakim wajib menilai Pengakuan Bersalah dilakukan secara sukarela, tanpa paksaan, dan dengan pemahaman penuh dari Terdakwa.
(8) Dalam hal Hakim menerima Pengakuan Bersalah, sidang dilanjutkan dengan pemeriksaan acara singkat.
(9) Dalam hal Hakim menolak Pengakuan Bersalah, perkara dilanjutkan sesuai dengan prosedur pemeriksaan dengan acara biasa.
(10) Setiap pelaksanaan Pengakuan Bersalah harus dicatat dalam berita acara dan menjadi bagian dari berkas perkara.
(11) Dalam hal Hakim memperoleh keyakinan bahwa Pengakuan Bersalah dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (10) dan didukung dengan 2 (dua) alat bukti yang sah, Hakim memberikan putusan sesuai dengan kesepakatan dalam berita acara.
(12) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (11) disahkan pengadilan pada saat proses Pengakuan Bersalah.