THE Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII) menyoroti terulangnya kasus keracunan makan bergizi gratis (MBG) di berbagai daerah Indonesia. Dalam sepekan terakhir, keracunan MBG terjadi di Kabupaten Garut, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Banggai Kepulauan, Kabupaten Sumbawa, hingga Kabupaten Baubau.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Peneliti bidang sosial TII, Made Natasya Restu Dewi Pratiwi, menyampaikan maraknya kasus keracunan ini harus dijadikan alarm keras bagi pemerintah untuk segera melakukan evaluasi total MBG. Dia berharap program MBG dihentikan terlebih dahulu untuk mendalami akar masalah terulangnya keracunan di lapangan, sehingga tidak meningkatkan jumlah korban.
“Merujuk teori keamanan pangan dan epidemiologi, pemerintah tidak boleh menoleransi satu pun kasus keracunan,” ujar Natasya dalam keterangan tertulis pada Jumat, 19 September 2025.
Menurut dia, nol kasus harus menjadi target mutlak karena setiap kejadian keracunan adalah indikator kegagalan sistem keamanan pangan yang berisiko menelan korban lebih luas.
Dalam Policy Assessment 2025 TII mengenai MBG, Natasya merekomendasikan penguatan pelatihan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) bagi SPPG hingga tim pengawas keamanan pangan di sekolah.
“Hal ini penting agar kebersihan dan keamanan menu MBG terjamin sejak tahap pengolahan, pemorsian, pengemasan, hingga distribusi makanan agar makanan tidak terkontaminasi dan justru mengandung bakteri penyebab infeksi saluran pencernaan,” ujar Natasya.
Metode HACCP perlu dipahami aktor di lapangan agar mereka dapat mencegah risiko kontaminasi, keracunan massal, serta melaporkan faktor penyebab buruknya kualitas makanan secara cepat dan tepat.
Namun, kajian TII mencatat bahwa aktor lokal, seperti dinas kesehatan maupun dinas pendidikan, belum terinformasi tentang pelatihan pengawasan keamanan makanan dan pembentukan tim pengawas keamanan pangan di sekolah untuk memonitoring kualitas makanan.
“Hal ini menunjukkan bahwa penerapan SOP keamanan pangan belum menjadi agenda yang diprioritaskan bahkan setelah ramainya kasus keracunan,” kata dia.
Natasya turut mengingatkan agar implementasi MBG tidak hanya berfokus mengejar jumlah capaian penerima, tetapi juga harus menjamin kualitas makanan yang dibagikan. Evaluasi keamanan makanan dan dampak MBG harus dilakukan secara transparan dan partisipatif, misalnya, dengan melibatkan siswa, guru, orang tua, masyarakat sipil, dan akademisi dalam survei evaluasi kepuasan publik.
“Melalui survei ini, pemerintah dapat mengidentifikasi aspek yang perlu ditingkatkan, terutama dari segi kualitas rantai distribusi MBG dan komposisi menu yang sesuai dengan preferensi makan hingga kondisi kesehatan penerima di daerah,” ujar Natasya.
Dia merekomendasikan pembangunan dashboard publik deteksi dini keracunan MBG dan dokumentasi kualitas makanan untuk memantau, mencegah, dan merespons kasus lebih cepat. Dengan demikian, alokasi anggaran besar untuk MBG benar-benar sebanding dengan dampak positif yang dihasilkan, terutama dalam meningkatkan status gizi anak Indonesia sekaligus mencegah terulangnya keracunan massal.
“Akan lebih bijak bagi pemerintah untuk mengkaji ulang dan melakukan moratorium program MBG secara terbatas, terutama untuk daerah yang mengalami kasus MBG yang bermasalah,” ujar dia.
Hal itu penting untuk memastikan perbaikan dalam penyelenggaraan MBG ke depannya, sekaligus pembelajaran untuk program MBG secara makro. Keberhasilan MBG, dia melanjutkan, hanya bisa dicapai bila kualitas, keamanan, dan kebersihan makanan dijamin.
Tanpa itu semua, Natasya menilai tujuan transformatif MBG dalam meningkatkan gizi anak justru bisa gagal akibat kasus keracunan yang terus berulang akibat sistem keamanan pangannya yang belum memenuhi standar.