SETARA Institute, lembaga non pemerintah di bidang hak asasi manusia dan demokrasi, menilai konsultasi Satuan Siber TNI ke polisi soal dugaan tindak pidana CEO Malaka Project Ferry Irwandi mengkhawatirkan. Langkah itu juga dianggap berdampak pada konsolidasi demokrasi dan reformasi sektor keamanan.
Peneliti Setara Ikhsan Yosarie mengatakan patroli siber terhadap aktivisme sipil di dunia digital menciptakan preseden berbahaya bagi normalisasi militer dalam penegakan hukum siber. “Operasi siber TNI berpotensi menjadi instrumen represi digital yang membungkam kritik dan mengontrol narasi publik,” katanya melalui keterangan tertulis pada Rabu, 10 September 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Ikhsan mengatakan patroli siber TNI melanggar Operasi Militer Selain Perang, khususnya dalam bidang siber. Ia mengatakan, sesuai UU TNI, operasi militer diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres), kecuali membantu tugas keamanan dan ketertiban Polri.
Menurut Setara, alih-alih memperkuat pertahanan siber untuk menghadapi ancaman eksternal, keterlibatan TNI justru menggeser peran militer ke ranah penegakan hukum. “Mengikis prinsip supremasi sipil, dan membuka jalan bagi praktik penyalahgunaan wewenang yang dapat menargetkan warga sipil,” katanya.
Sebelumnya, Brigadir Jenderal Juinta Omboh mengatakan ada dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Ferry. Dugaan itu muncul setelah Satuan Siber TNI terlebih dahulu menyisir ruang siber.
Hasil penyelidikan Satuan Siber itu lantas disampaikan ke Polda Metro Jaya. Juinta mendatangi Markas Polda Metro Jaya untuk berkonsultasi dengan kepolisian perihal langkah hukum temuan Satuan Siber TNI itu, pada Senin, 8 September 2025.
Hasil dari konsultasi tersebut, kata Juinta, saat ini TNI sedang menyusun langkah hukum yang akan dilakukan terhadap Ferry. Tapi ia enggan membeberkan tindak pidana apa yang diduga dilakukan oleh Ferry.
Juinta hanya mengatakan nanti ada proses penyidikan terhadap kasus Ferry tersebut. “Nanti akan ada penyidikan. Nanti biar kami lanjutkan,” katanya di Polda Metro Jaya. Lulusan Akademi Militer itu juga mengatakan Ferry sebelumnya sempat berbicara tentang algoritma.
Wakil Direktur Siber Direktorat Siber Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Polisi Fian Yunus, mengatakan TNI ingin melaporkan Ferry atas dugaan pencemaran nama baik. Namun, Fian mengatakan, secara institusi TNI tidak bisa melaporkan soal pencemaran nama baik.
“Kami sampaikan, menurut putusan Mahkamah Konstitusi, institusi tak bisa melaporkan, harus pribadi kalau pencemaran nama baik," kata Fian pada Selasa, 9 September 2025, dikutip Antara.
Menanggapi kasus itu, Ferry Irwandi mengatakan belum mengetahui konsultasi TNI dengan Polda Metro Jaya untuk mempidanakan dirinya tersebut. CEO Malaka Project ini mengaku tidak pernah dihubungi oleh Juinta maupun stafnya perihal dugaan tindak pidana yang dimaksud. “Saya tidak pernah dikontak,” kata dia lewat unggahan di akun Instagram miliknya.
Koalisi Masyarakat Sipil telah meminta kepolisian untuk tidak menindaklanjuti kasus Ferry. Sebab, Satuan Siber TNI seharusnya berfokus menghalau ancaman perang siber sebagai bagian dari upaya pertahanan siber.
“Tidak seharusnya TNI bertindak jauh ke ranah sipil hingga mempengaruhi proses penegakan hukum,” kata koalisi masyarakat lewat rilisnya. Koalisi masyarakat sipil itu meliputi Imparsial, Raksha Initiatives, Centra Initiative, DeJuRe, Koalisi Perempuan Indonesia, Human Rights Working Group (HRWG), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Asosiasi LBH APIK, dan Setara Institute.