Review Film Arze: Jatuh Bangun Ibu Tunggal Hidup di Negara Bergolak, Realistis Sekaligus Menyentuh

Liputan6.com, Jakarta Di tengah gempuran film Indonesia dan blockbuster Hollywood, muncul Arze dari Lebanon. Karya sineas Mira Shaib ini menampilkan performa brilian Diamand Abou Abboud, Betty Taoutel, dan Bilal Al Hamwi.

Film Arze menampilkan potret sosial masyarakat Lebanon yang bergolak. Situasi politik, ekonomi, dan keamanan sedang tak baik-baik saja. Mira Shaib memotret dampak pergolakan di skala mikro yakni kelurga kelas menengah.

Digarap realistis sekaligus detail dengan topik sederhana yakni motor yang dibeli dengan mencicil dicuri. Lalu, penonton diajak mengikuti perjalanan tokoh utama melacak keberadaan motor tanpa bantuan polisi.

Arze mewakili Lebanon di ajang Piala Oscar 2025 kategori Film Internasional Terbaik. Ia gagal menembus nominasi dan kita tahu pemenangnya adalajh I'm Still Here dari Brasil. Berikut review film Arze.

Arze (Diamand Abou Abboud) adalah ibu tunggal yang membesarkan putranya, Kinan (Bilal Al Hamwi). Tinggal bersama saudara kandungnya, Layla (Betty Taoutel), ia menyambung hidup dengan menjual pia isi sayuran.

Mulanya ada pembagian tugas dalam keluarga ini. Arze memasak pia, Kinan mengantar pesanan ke rumah konsumen. Masalahnya, Kinan tak punya etos kerja tinggi. Berkali pia pesanan gagal diantar tepat waktu.

Kinan sendiri tengah dekat dengan Yasmin (Kathy Youness). Bosan tinggal di Lebanon, Kinan menabung untuk bikin paspor dan terbang ke Eropa, mencari ayahnya. Arze kemudian nekat mencuri gelang Layla untuk digadaikan.

Hasilnya dipakai untuk mencicil sepeda motor. Sepeda motor ini hendak dipakai mengantar pesanan pia ke rumah-rumah konsumen. Apes, beberapa hari setelahnya motor itu dicuri kala dipakai Kinan pacaran dengan Yasmin.

Dari cerita ini tergambar jelas beban hidup yang disangga Arze. Pertama, jadi ibu tunggal. Kedua, anaknya tak mau kuliah, punya etos kerja rendah, dan lagu ngebucin. Ketiga, Layla tak berfungsi. Ia berjuang melawan trauma setelah suaminya menghilang.

Itu masih “berbonus” uang pas-pasan, alat masak terbatas, dan lingkungan rumah kurang mendukung. Di tangan Diamand Abou Abboud, sosok Arze tak lantas jadi menye-menye sekaligus ugal-ugalan dalam pamer penderitaan.

Dari raut wajahnya, kita melihat rapuh, kuat, semangat menolak menyerah, dan kesadaran bahwa hidup harus diperjuangkan bagaimana pun keadaannya. Louay Khraish dan Faissal Sam Shaib sangat manusiawi dalam menegakkan karakter-karakter di film ini.

Arze hidup lewat pilihan-pilihan yang kadang logis, emosional, salah pilih, hingga meyakini firasat. Padahal, firasat ini acapkali salah. Hubungannya dengan anak juga tidak bisa dibilang baik. Cenderung merendahkan setelah tahu putranya tak punya etos kerja.

Di sinilah menariknya Arze. Setiap tokoh diberi kesempatan setelah membuat pilihan keliru. Kesempatan kedua dimanfaatkan dengan baik meski hasil akhirnya tidak 100 persen melegakan layaknya film pada umumnya.

Kadang, hasil kesempatan kedua itu berupa tangis penyesalan dan kesadaran untuk memperbaiki sikap. Atau kebahagiaan seorang tokoh karena akhirnya, suaranya didengar oleh yang lain. Simpel tapi menghangatkan hati.

Proses pemecahan konflik pun dibuat tidak instan. Ini memberi perspektif bahwa hidup tak segampang ocehan motivator nasional. Jalan buntu berkali ditemui. Lagi-lagi Diamand Abou Abboud meyakinkan kita bahwa menyerah bukan pilihan.

Arze memberi pemahaman tentang menerima kenyataan dan mengelola masalah. Film ini juga bicara soal pengenalan dan pemberdayaan diri. Terakhir namun tak kalah penting, keputusan Arze kembali ke rumah s...