KAUKUS Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) melihat tindakan aparat menjadikan buku sebagai alat bukti untuk menjerat tindak pidana seseorang sebagai kemunduran serius dalam demokrasi.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Presedium KIKA Dodi Faedlulloh menilai langkah polisi yang dengan bangga memamerkan buku-buku sitaannya dalam konferensi pers juga menunjukan adanya pembungkaman kebebasan akademik secara telanjang.
"Apalagi karya sastra sekelas tetralogi Pramoedya Ananta Toer, seharusnya menjadi ruang untuk memperluas imajinasi, berpikir kritis, dan memperkaya peradaban bangsa," kata dia melalui pesan tertulis pada Jumat, 19 September 2025.
Pada Rabu, 17 September 2025, Kepolisian Daerah Jawa Barat menunjukan sejumlah barang bukti dalam penetapan 42 tersangka perusuh unjuk rasa 29-30 Agustus silam. Di antara sederet alat bukti itu terdapat sejumlah buku yang turut disita.
Salah satunya novel berjudul Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer. Buku ini merupakan bagian kedua dari series tetralogi Buru yang sangat terkenal dan pernah dilarang beredar pada masa orde baru.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya lebih dulu menyita sejumlah buku saat menggeledah rumah Direktur Lokataru Foundation Delpedro Marhaen pada Kamis, 4 September 2025. Adapun Delpedro ditangkap dengan alasan telah menghasut dan mengajak sejumlah pelajar, termasuk anak di bawah 18 tahun, untuk melakukan “aksi anarkis” lewat media sosial.
Menurut Dodi, mengkategorikan buku sebagai barang bukti tindakan kriminal justru menegaskan adanya sisa-sisa mentalitas otoritarian Orde Baru yang masih bercokol dalam institusi negara.
Pada era pasca-reformasi, Dodi memaparkan praktik serupa sebetulnya beberapa kali terjadi, antara lain, pelarangan dan penyitaan buku-buku bertema kiri oleh Kejaksaan Agung pada 2009, pembubaran diskusi buku Tan Malaka karya Harry A. Poeze, hingga berbagai sweeping buku yang dianggap “berbau komunisme” di beberapa daerah.
Bagi Dodi, hal ini menunjukan Indonesia sejatinya belum pernah benar-benar beranjak dari masa lalu. "Pola yang berulang ini menunjukkan ada trauma politik masa lalu dijadikan justifikasi untuk mengekang kebebasan berpikir generasi sekarang," tutur dia.
Dodi berpendapat keleluasaan aparat menjadikan buku sebagai instrumen untuk menuduh seseorang bertindak anarkis disebabkan oleh dua hal. Pertama, lemahnya literasi aparat penegak hukum dalam memahami posisi pengetahuan dan karya sastra. "Mereka keliru menempatkan bacaan sebagai ancaman," katanya.
Sementara poin kedua, adanya pembiaran dari pemimpin negara terhadap kecenderungan tindakan represif terhadap sikap kritis. Pemerintah, kata dia, acap kali memolesnya dengan dalih keamanan negara.
"Padahal dalam negara demokrasi, justru keterbukaan pada ragam bacaanlah yang memperkuat daya tahan bangsa terhadap ide-ide antidemokratis," ujar Dodi.