Liputan6.com, Jakarta - Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Mendukbangga) Wihaji menargetkan prevalensi stunting turun dari 19,8 persen di 2024 menjadi 18,8 persen di 2025.
“Prevalensi stunting di 2024 adalah 19,8 persen, sementara di 2025 kita ditargetkan 18,8 persen. Di 2029, 14 persen,” katanya dalam Genting Collaboration Summit di Jakarta, Rabu (10/12/2025).
Untuk mengejar target ini, ada dua lokasi yang diprioritaskan. Yakni Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Jawa Barat (Jabar). Bukan tanpa alasan, kedua wilayah ini punya angka stunting tinggi dan penduduk yang banyak.
“Ada dua lokasi yang kita prioritaskan, pertama NTT. Kenapa NTT? Karena NTT termasuk yang lumayan kasus stuntingnya. Yang kedua Jawa Barat, kenapa Jawa Barat? Penduduk paling banyak di Indonesia itu di Provinsi Jawa Barat, jadi kalau menyelesaikan Jawa Barat, prevalensinya inshaAllah berkurang,” ujar Wihaji.
Dia menilai, hal yang paling penting untuk ditingkatkan di kedua wilayah ini adalah edukasi. Pasalnya, ada beberapa pengetahuan masyarakat yang kurang utuh terkait stunting.
“Maka di NTT saya kemarin mengajak para tokoh agama, pendeta, pastor, kyai saya kumpulin semua bersama Pak Gubernur untuk kita kerja bareng-bareng, kita kasih edukasi,” jelasnya.
Singgung Soal Kekayaan Alam NTT
Wihaji menilai, secara kekayaan alam, NTT adalah wilayah yang baik karena berada di dekat laut.
“Secara alam sebenarnya NTT ini kan lumayan dekat laut, banyak ikan juga. Tapi perlu ada beberapa penjelasan yang nanti menjadi semangat bersama bahwa ini yang perlu dikerjakan, ini yang perlu dilakukan.”
“Kadang-kadang yang didengar itu tokoh-tokoh masyarakat, maka saya libatkan para pendeta, para pastor, tokoh agama lain yang saya libatkan salah satunya untuk edukasi,” jelasnya.
Selain edukasi, tantangan lain yang ditemui khususnya di NTT adalah soal ketersediaan air bersih.
“NTT ada beberapa yang (bermasalah) dengan air bersih, di Rote air bersihnya agak kurang jadi kita butuh support air bersih. Sanitasi dan MCK (Mandi Cuci Kakus), ada beberapa yang enggak punya.”
Permasalahan Gizi di NTT
Senada dengan Wihaji, Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi Dinas Kesehatan Ende, Maria A. Eka, mengungkap permasalahan gizi di Ende, NTT masih terbilang lengkap.
Ini menunjukkan, memiliki kekayaan sumber pangan yang melimpah tak menjamin anak-anak di Ende, NTT, terhindar dari permasalahan gizi.
“Ada wasting (berat badan turun cepat), stunting, underweight (berat badan kurang). Ada juga gizi buruk, gizi kurang, lengkap lah permasalahan status gizi di sini. Bahkan ada juga overweight (kegemukan) jadi lengkap,” jelas Maria kepada Health Liputan6.com saat ditemui di kantor Wahana Visi Indonesia (WVI) Ende, NTT, Rabu (5/3/2025).
Ironisnya, berbagai permasalahan gizi yang dialami anak-anak Ende tidak sejalan dengan kekayaan pangan yang dimiliki.
“Kalau kita bicara tentang pangan, saya kira Ende tidak ada daerah yang minus pangan, semua kita surplus. Ende adalah daerah subur dari ujung timur ke barat walaupun tidak sama setiap daerah, tapi kebutuhan lokal itu pasti ada (terpenuhi).”
Maria menerangkan, Ende adalah kabupaten yang dilingkari oleh lautan. Artinya, sumber pangan laut tersedia dengan baik. Begitu pun di pedalaman, ada budidaya pemeliharaan ayam, udang sawah, ikan air tawar, yang didukung berbagai program pengembangan.
Lantas, apa biang kerok dari munculnya permasalahan gizi anak Ende?
Orang Tua Sibuk Bertani hingga Lupa Status Gizi Buah Hati
Melihat melimpahnya sumber pangan untuk anak-anak di Ende, Maria menarik simpulan bahwa masalah gizi yang mereka hadapi bukanlah akibat kekurangan makanan.
“Kita menarik kesimpulan bahwa ini karena pola asuh,” ucap Maria.
Khususnya pola asuh saat orang tua disibukkan dengan pekerjaannya. Para orang tua di beberapa daerah memang memiliki mata pencaharian sebagai petani.
Ketika musim tanam tiba, sebagian besar warga harus meninggalkan kampung untuk pergi ke kebun. Jarak dari kampung ke kebun yang tak dekat membuat mereka terpaksa bermalam di sana. Bukan sehari dua hari, tapi bisa lebih dari sebulan.
Sebagian orang tua membawa serta anaknya ke kebun, sebagian lainnya menitipkan buah hati di kakek neneknya.
Pada saat inilah pengasuhan anak tidak dilakukan dengan baik, termasuk soal pemenuhan kebutuhan nutrisinya. Baik bagi anak yang dibawa ke kebun, maupun bagi anak yang ditinggal di kampung.
“Pada bulan-bulan orang tua sibuk, itu status gizi anak anjlok. Terutama di daerah-daerah yang mata pencahariannya bertani,” kata Maria.
Dia bahkan menyebut daerah di Ende sebagai Surga Firdaus karena berbagai tanaman tumbuh dengan subur di sana.
“Itu daerah-daerah subur, hijau, yang semua lengkap, apalagi sayuran hijau. Tapi pengetahuan untuk mengolah masih sangat minim dan tidak adanya waktu untuk memberikan ke anak.”
“Kemarin saya tanya ‘bagaimana sih proses kalian mengerjakan sawah sehingga anak bisa ditelantarkan sampai anjlok (status gizinya)’,” ujarnya.
Maria pun mencari tahu alasan di balik lamanya masa tanam sehingga para orang tua harus meninggalkan kampung hingga lebih dari sebulan.
“Mereka itu punya grup-grupan tanam, misalnya kita berlima punya sawah masing-masing sehingga kita saling membantu. Sebetulnya kalau mengerjakan satu sawah milik sendiri saja, maka waktunya hanya seminggu, tapi karena bekerja sama jadi lima minggu (karena harus bantu sawah yang lain).”
“Bisa dibayangkan, lima minggu menelantarkan anak, dibiarkan dengan tetangga atau dengan nenek-nenek, ternyata di situ (alasannya),” papar Maria.
Maria pun menyarankan, anak-anak yang di bawah usia sekolah sebaiknya dibawa serta ke kebun dan dibuatkan kelompok khusus yang fokus mengurus penyediaan makanan bernutrisi.
“Sehingga, ya silakan sebagian urus soal tanam atau panen, nah kelompok khusus ini kumpulkan para anak, urus, kasih makan,” pungkasnya.
.png)
10 hours ago
1
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5439522/original/007583400_1765360063-WhatsApp_Image_2025-12-10_at_15.22.33__1_.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5439528/original/038485400_1765360256-water_treatment.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5415963/original/056059600_1763436782-DSC_6357.jpg)



















