ANGGOTA Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2024-2029 tidak lagi menerima fasilitas rumah dinas. Kini, fasilitas itu digantikan dengan tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta yang diterima setiap bulan sebagai komponen pendapatan.
Kebijakan itu menimbulkan polemik. Sebab, saat ini masyarakat sedang dilanda badai pemutusan hubungan kerja, beban pajak yang tinggi dan ekonomi tidak menentu. Namun DPR justru menerima kenaikan tunjangan.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar menjelaskan bahwa besaran tunjangan Rp 50 juta per bulan ditetapkan setelah pembahasan bersama Kementerian Keuangan. “Nilai itu ditetapkan berdasarkan kajian dengan salah satu benchmark-nya yaitu tunjangan perumahan bagi anggota DPRD Jakarta,” ujarnya, Senin, 18 Agustus 2025.
Indra menyampaikan tunjangan tersebut bersifat lump sum, sehingga Sekretariat DPR tidak memerlukan laporan pertanggungjawaban rinci dari anggota dewan mengenai penggunaannya.
Ketua DPR Puan Maharani menyebut angka tunjangan rumah Rp 50 juta bagi anggota parlemen sudah ditelaah sebaik-baiknya. Meski begitu, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini membuka ruang evaluasi terkait dengan polemik tunjangan rumah dinas DPR yang dinilai terlalu besar.
Nilai tunjangan Rp 50 juta per bulan itu, kata Puan, sudah dikaji untuk 580 anggota DPR yang datang dari 38 provinsi. “Itu sudah dikaji dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan kondisi ataupun harga yang ada di Jakarta karena kan kantornya ada di Jakarta,” ucap Puan seusai rapat paripurna, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Kamis, 21 Agustus 2025.
Dengan tunjangan tersebut, total gaji dan tunjangan yang diterima anggota DPR setiap bulan disebut menembus Rp 100 juta. Angka tersebut termasuk komponen gaji pokok ketua DPR sebesar sebesar Rp 5,04 juta, wakil ketua Rp 4,62 juta, dan anggota biasa Rp 4,2 juta.
Gaji tersebut masih ditambah tunjangan pasangan, tunjangan anak, tunjangan jabatan, tunjangan komunikasi, bantuan listrik, tunjangan beras, dan tambahan-tambahan lainnya. Tunjangan jabatan untuk anggota DPR mencapai Rp 9,7 juta. Sementara itu, tunjangan komunikasi intensif mereka sebesar Rp 15,5 juta, bantuan listrik dan telepon Rp 7,7 juta, dan tunjangan kehormatan hingga Rp 5,58 juta.
Berbagai kritik, seperti dari masyarakat sipil hingga tokoh Partai Buruh. Lantas, apa saja kritik soal tunjangan para anggota dewan?
Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyebut besarnya berbagai tunjangan DPR adalah bentuk ketidakadilan. Apalagi, kata dia, jika dibandingkan dengan para pekerja formal maupun informal.
“Ini yang dibilang ketidakadilan, di tengah pendapatan rendah, mudah di-PHK, tidak ada jaminan sosial. DPR kerja lima tahun saja dapat uang pensiun,” kata Said dalam konferensi pers beberapa waktu lalu.
Said berujar anggota DPR sudah memiliki gaji yang besar. Maka dari itu, dia menilai pemerintah tidak perlu menambahkan berbagai tambahan tunjangan saat ada kebutuhan lain yang lebih mendesak.
Saat ini, kata Said, gaji anggota DPR beserta tunjangannya bisa mencapai Rp 104 juta per bulan. Said mencontohkan, gaji DPR itu jomplang dengan pendapatan karyawan kontrak yang memiliki upah minimum.
Di sisi lain, Said menyebut gaji DPR juga berat sebelah dengan para pekerja informal yang rata-rata Rp 1,5 juta per bulan atau sekitar Rp 50 ribu per hari. Sementara, pendapatan pekerja ojek online malah hanya Rp 650 ribu per bulan atau sekitar Rp 20 ribu per hari. “Itu belum keluarganya, anaknya, atau istri-suaminya. Itu ketidakadilan,” ujar dia.
Kritik juga datang dari Yenny Wahid, putri mantan presiden Abdurrahman Wahid. Menurut Yenny, anggota DPR seharusnya menahan diri di tengah ekonomi yang tengah sulit. Seharusnya, kata dia, mereka justru mengurangi fasilitas yang berlebihan, bukannya mendapat tambahan tunjangan.
Yenny berujar pajak negara seharusnya dikelola dan digunakan untuk kebutuhan rakyat. "Rakyat sedang menjerit. Kita harus lebih menahan diri untuk tidak menghamburkan uang untuk kebutuhan kebutuhan yang bukan kebutuhan primer," kata Yenny seperti dikutip Antara pada Jumat, 22 Agustus 2025.
Soal tunjangan rumah anggota DPR yang mencapai Rp 50 juta per bulan, Yenny menilai seharusnya dana itu dapat dialokasikan untuk hal-hal lain. Sebab, umumnya anggota DPR sudah memiliki rumah. “Kalau di Jakarta belum punya rumah, saya rasa apakah harus Rp 50 juta harga sewanya? Jadi mungkin ada juga kompleks DPR yang ada, kenapa tidak dimaksimalkan saja? Kalau memang rusak ya direnovasi,” ujar Yenny.
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menyebut pemberian tunjangan anggota DPR tidak etis. Sebab, kenaikan itu diberikan di tengah gencarnya pemerintah menyerukan pemangkasan anggaran. “Tunjangan rumah dinas DPR ini seharusnya bisa dialihkan untuk program yang lebih menyentuh masyarakat, misalnya percepatan pembangunan 3 juta rumah layak huni bagi warga miskin,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu, 20 Agustus 2025.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat tunjangan DPR dengan berbagai komponennya terlalu besar. “Tidak mencerminkan sense of crisis bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sedang efisiensi dan masyarakat sedang menghadapi tekanan daya beli,” katanya ketika dihubungi pada Kamis, 21 Agustus 2025.