INFO NASIONAL - Pagi itu, ruang kerja Alexander Sabar sunyi kecuali bunyi notifikasi yang sesekali menyala di layar besar di depannya. Di layar itu, peta dunia maya berdenyut seperti kota tanpa tidur: titik-titik merah berkedip, menandai ribuan situs judi online yang baru saja tumbuh semalam.
“Ini bukan kejahatan biasa,” katanya pelan, “ini penyakit sosial yang menular lewat genggaman tangan.”
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Sebagai Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komunikasi dan Digital, Alex—sapaan akrabnya—telah menyaksikan sisi tergelap dari internet Indonesia. Ia tahu betul betapa cepatnya manusia berubah menjadi angka di statistik kriminal: suami yang menggadaikan motor karena kalah taruhan, istri yang menyalakan api, anak-anak yang kehilangan orang tua karena saldo di aplikasi lenyap.
“Dampaknya luar biasa. Keluarga pecah, anak-anak terbengkalai,” ucapnya.
Alex menggambarkan ruang digital seperti pasar raksasa tanpa pagar. Siapa pun bisa masuk—penjual, pembeli, penipu, bahkan anak-anak yang tersesat.
“Teknologi ini memberi kemudahan, tapi juga menciptakan akibat negatif yang tak bisa dihindari,” katanya.
Di pasar itu, ada yang datang sekadar melihat-lihat, ada yang ketagihan, dan ada pula yang sengaja menciptakan “barang haram” sebelum ada pembelinya. Judi online termasuk di sana, bukan muncul karena kebutuhan, tapi karena dirancang untuk membuat orang membutuhkannya.
Dari meja kerjanya di Kemkomdigi, Alex bekerja di bawah payung hukum: UU ITE, UU Pelindungan Data Pribadi, dan PP Nomor 71 Tahun 2019. Namun ia tahu, undang-undang saja tak cukup. Dunia maya bergerak lebih cepat daripada pasal. “Prosedur kita sering tertinggal dari teknologi,” ujarnya.
Tiga Mata Pengawas
Untuk menjaga ruang digital tetap aman, Komdigi punya tiga “mata” pengawas: CekRekening.id bagi korban penipuan atau rekening judi online; AduanNomor.id untuk nomor-nomor seluler yang digunakan menawarkan penipuan dan iklan spam; dan AduanKonten.id, posko virtual untuk melaporkan situs atau akun media sosial yang menyebar konten ilegal.
Semua kanal itu terhubung ke patroli siber yang beroperasi 24 jam sehari. Di ruangan itu, layar-layar menampilkan daftar situs yang baru diblokir. Dalam setahun terakhir, Komdigi menutup lebih dari 3 juta konten negatif, termasuk 2,3 juta situs judi online—angka yang terdengar besar, tapi tetap terasa seperti menimba laut dengan sendok.
“Kadang kita blokir pagi, sore sudah muncul lagi dengan nama lain,” kata Alex, menghela napas.
Dalam pertempuran ini, Kemkomdigi tidak sendirian. Bersama PPATK, Kementerian Keuangan, Polri, dan OJK, mereka menelusuri aliran dana senilai Rp 927 triliun yang berputar dalam delapan tahun terakhir. Uang itu beredar seperti arus bawah laut, sunyi tapi kuat, menggerakkan ekonomi gelap di balik layar ponsel.
Kemkomdigi berperan di hulu: memutus akses situs, memperketat kepatuhan platform digital, dan mengingatkan publik lewat literasi digital. Polri bertugas di hilir, menegakkan hukum. Sementara PPATK membekukan rekening yang mencurigakan.
“Setiap instansi punya peran. Tapi memberantasnya perlu kesadaran publik,” ujar Alex. “Tanpa itu, kita hanya akan bermain kucing-kucingan.”
Tantangan Manusia
Di luar urusan algoritma dan regulasi, tantangan terbesar justru datang dari manusia. Literasi digital masih rendah; sebagian orang tak tahu bahwa iklan undian di media sosial bisa menjebak mereka ke dalam lingkaran setan. Modul literasi digital sudah dibuat, tapi berapa banyak yang benar-benar membacanya?
Alex menyebutnya perang kesadaran. Pemerintah bisa menutup situs, tapi tak bisa menutup rasa penasaran manusia.
“Yang bisa menyelamatkan ruang digital kita adalah rasa peduli. Kalau masyarakat cuek, sebanyak apa pun kita blokir, tak akan cukup,” katanya.
Ia berharap tokoh agama, pendidik, dan keluarga ikut bicara. Judi online bukan sekadar kejahatan digital; ini gejala sosial. Setiap saldo yang habis di aplikasi mungkin berarti dapur yang tak mengepul di dunia nyata.
Matahari mulai condong ke barat saat Alex menatap layar terakhir hari itu. Titik merah masih bermunculan, tak ada tanda-tanda surut. Ia tahu, pekerjaan ini tak akan selesai besok. Tapi seperti penjaga mercusuar di laut badai, ia tetap menyalakan cahaya, meski tahu kapal-kapal baru akan datang lagi.
“Selama masih ada internet, kita mungkin tidak bisa benar-benar menang,” ujarnya, “tapi kita bisa memastikan anak-anak kita tidak ikut tenggelam.” (*)
.png)
4 weeks ago
9



:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5301737/original/000530900_1753954594-WhatsApp_Image_2025-07-31_at_16.23.30_0e70084e.jpg)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5393654/original/047231900_1761566632-WhatsApp_Image_2025-10-27_at_6.57.20_PM.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5394791/original/037000600_1761640597-kakseto.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5393710/original/099592200_1761575550-WhatsApp_Image_2025-10-27_at_22.20.05.jpeg)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4402814/original/059145300_1681978923-20230420-Pakaian-Impor-Bekas-Lebaran-Idul-Fitri-Iqbal-1.jpg)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5393482/original/049060900_1761556475-hl2.jpg)




