
CETAKAN stiker berukuran A5 yang menampilkan kode batang tampak terlihat di sejumlah pelaku UMKM di beberapa tempat di Kota dan Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Selayaknya di Jakarta, stiker-stiker itu tertempel di dekat meja pembayaran ataupun terpasang dalam akrilik bening, pun tersedia di beberapa minimarket dan toko sembako.
Seperti diberitakan, stiker yang menampilkan kode batang itu ialah Quick Response Code Indonesian Standard, atau dikenal dengan sebutan QRIS, sebuah standar kode QR nasional yang ditetapkan Bank Indonesia untuk memfasilitasi transaksi pembayaran digital yang lebih mudah, cepat, dan aman di seluruh Indonesia. Metode pembayaran berbasis digital ternyata sudah menyentuh kawasan timur Indonesia.
Tidak berbeda dengan di Jakarta, penggunaan QRIS di Kota dan Kabupaten Sorong juga menggunakan ponsel seluler. Banyak masyarakat di daerah tersebut, khususnya muda-mudi, lebih memilih metode transaksi pembayaran digital untuk membeli kebutuhan mereka. Hanya tinggal scan kode batang dan pembayaran selesai dilakukan, mudah dan cepat.
“Kalau di sini, khususnya daerah pusat kota, transaksi digital sudah cukup masif, tapi memang segmennya lebih banyak digunakan anak-anak muda, pekerja. Cukup banyak tempat di sini yang sudah menyediakan QRIS. Bukan cuma minimarket, beberapa UMKM seperti warung-warung kecil atau pedagang kaki lima juga (sudah memanfaatkan). Hanya saja memang masih ada beberapa pihak yang menolak (digitalisasi), tapi (keputusan) itu dikembalikan (ke pengguna) masing-masing,” kata masyarakat yang berdomisili di Kabupaten Sorong, Desi Sentuf, 26, kepada Media Indonesia, Jumat (10/10).
Penggunaan QRIS yang sudah mulai masuk di Kota dan Kabupaten Sorong menjadi bukti konektivitas internet kini sudah bisa diakses masyarakat di Indonesia Timur. Kemahiran masyarakat dalam memanfaatkan layanan transaksi digital dalam keseharian itu juga bukti pemberdayaan teknologi oleh masyarakat Indonesia bagian timur sudah berjalan. Dengan kata lain, itu gambaran masyarakat Indonesia sudah mulai melek digital.
SELARAS DENGAN IMDI 2025
Apa yang terlihat di kawasan Indonesia Timur itu nyatanya sejalan dengan indeks masyarakat digital indonesia (IMDI) 2025 yang baru saja dirilis Kementerian Komunikasi dan Digital Republik Indonesia (Kemenkomdigi). Hasilnya, terdapat kenaikan skor IMDI sebesar 44,53 tahun ini, meningkat 1,19 poin dari tahun sebelumnya. Kenaikan itu menjadi bukti nyata percepatan transformasi digital Indonesia dan semakin cakapnya masyarakat dalam mengadopsi teknologi digital.
Seperti diberitakan, IMDI 2025 hadir untuk memberikan gambaran komprehensif mengenai tingkat kematangan digital masyarakat Indonesia, mencakup aspek akses, literasi, penggunaan, dan dampak teknologi digital. Data dan analisis yang disajikan ini diharapkan menjadi dasar bagi perumusan kebijakan yang berbasis bukti (evidence-based policy), demi memastikan transformasi digital berjalan selaras dengan visi pembangunan jangka panjang.
“Angka itu bukan sekadar statistik melainkan juga merupakan bukti nyata bahwa Indonesia bergerak menuju visi besar pemerintah digital 2045. IMDI bukan hanya menjadi alat evaluasi, melainkan juga kompas kebijakan dalam memandu pemerintah pusat dan daerah untuk menyusun program,” kata Menkomdigi Meutya Hafid dalam peluncuran laporan IMDI 2025 di Ganara Art Space FX Sudirman, Jakarta, Kamis (2/10).
Pengukuran IMDI mencakup empat pilar utama, yaitu infrastruktur dan ekosistem, literasi digital, pemberdayaan, serta pekerjaan. Indeks yang diukur berkala setiap tahun sejak 2022 tersebut mengadopsi G-20 Toolkit for Measuring Digital Skill and Digital Literacy, hasil dari capaian penting dalam forum Digital Economy Working Group (DEWG) pada Presidensi G-20 Indonesia 2022.
Untuk 2025, pengukuran dilakukan pada Juli-Agustus dengan melibatkan lebih dari 18 ribu responden individu dan 11 ribu responden industri. Itu juga telah mengintegrasikan indikator indeks literasi digital (ILD) sehingga memberikan gambaran yang lebih komprehensif dan terkini hingga level kabupaten/kota.
Setelah melihat hasil IMDI 2025, nilai 44,53 yang dicatatkan terbentuk berdasarkan empat pilar utama dengan pilar infrastruktur dan ekosistem pemilik nilai tertinggi yaitu 53,06, meningkat dari 2024 yang berada di angka 52,70. Kemudian pilar pemberdayaan menyentuh angka 34,33. Meskipun angkanya masih cukup kecil, angka itu meningkat cukup drastis jika dibandingkan dengan 2024 yang mendapat nilai 25,66. Dari dua pilar lainnya, pilar pekerjaan berada di angka 42,91. Statistik itu menunjukkan ada peningkatan dengan pada 2024 ada di angka 38,09. Pilar literasi digital berada di angka 49,28, menurun dari data 2024 yang yang berada pada nilai 58,25.
Keseluruhan angka menunjukkan bahwa meskipun kondisi infrastruktur dan ekosistem pembelajaran digital sudah cukup memadai secara umum, pemanfaatan oleh masyarakat masih belum optimal. Hal itu terlihat dari dukungan pada kegiatan produktif yang berpotensi mendorong peningkatan ekonomi.
“Di 2025 ini, (IMDI) kita naik dari 43,34 di 2024 menjadi 44,53. Kita mulai dari hari ini untuk peningkatan yang mudah-mudahan lebih signifikan lagi untuk 2026,” ungkap Meutya.
INDONESIA TIMUR
Berdasarkan IMDI 2025 ada sejumlah daerah di Indonesia yang menunjukkan nilai kecakapan digital yang baik, termasuk beberapa wilayah di daerah timur Indonesia seperti Papua Barat Daya yang menerima skor 40,34 dan Nusa Tenggara Timur yang mendapatkan nilai 44,54. Keduanya berada di level cukup.
Dalam wawancara kepada Media Indonesia, Desi turut mengungkap bagaimana kecakapan digital di daerahnya. Berkaitan dengan pilar infrastruktur dan ekosistem, kualitas internet di kawasan tersebut dikatakannya sudah cukup memadai meskipun belum bisa dikatakan baik secara penuh.
“Di tempat saya sendiri bisa dikatakan sudah cukup baik. Jaringannya bahkan sudah masuk 4G dengan signal bar juga cukup kuat. Sebagai gambaran, jaringan internet yang ada sudah bisa digunakan untuk melakukan Zoom meeting atau mengakses social media, berselancar di web browser. Terkadang ada juga hilang-hilang. Namun, tidak terlalu kendalalah,” ucap Desi.
Sementara itu, di kawasan Nusa Tenggara Timur (NTT), Faustinus Nua, 30, masyarakat yang berdomisili di Bajawa, mengatakan konektivitas jaringan internet sudah tersedia di Pulau Flores, tetapi memang masih belum merata. Ia menggambarkan daerah-daerah pusat kota bisa terhubung internet dengan lancar, sementara yang jauh dari pusat kota masih kerap terkendala oleh jaringan internet.
“Kalau untuk Flores itu, khususnya wilayah kota, konektivitas internet bisa dikatakan bagus. Rata-rata semua provider seluler lancar konektivitasnya. Geser sedikit ke perkampungan seperti di Bajawa tempat saya tinggal, sudah mulai hilang-hilang sinyal, paling hanya provider Telkomsel yang masih bisa terhubung jaringan internet,” tutur Faustinus dalam sambungan telepon, Kamis (9/10).
Faustinus bercerita, hal yang cukup menarik berkaitan dengan digitalisasi di kawasannya ialah masyarakat begitu butuh jaringan internet. Cukup banyak pihak yang memanfaatkan teknologi berbasis satelit demi mendapatkan jaringan internet. Bila menggunakan penyedia layanan internet satelit berkecepatan tinggi, konektivitas internet jauh lebih lancar.
“Kalau di Jakarta, mungkin enggak banyak kita lihat pengguna internet berbasis satelit, tapi di Flores cukup banyak yang memanfaatkan teknologi itu. Hanya saja, biasanya cuma yang mampu beli, mampu bayar, yang bisa pakai teknologi tersebut. Kebanyakan, sih, di kantor-kantor desa atau puskesmas sudah pakai internet berbasis satelit. Beberapa juga di permukiman warga,” jelas Faustinus.
HARAPAN UNTUK LEBIH BAIK
Meskipun kualitas internet di Kabupaten Sorong sudah cukup baik, harapan dititipkan Desi untuk keberlangsungan digital yang lebih cakap di daerahnya. Desi berharap nilai IMDI untuk Papua Barat Daya khususnya bisa lebih baik lagi, dengan berfokus pada pemerataan jaringan int...