
KOALISI masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan selaku pemohon pengujian formil revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) akan kembali melakukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Kali ini, mereka akan melakukan pengujian materiil terhadap UU TNI untuk menguji beberapa pasal yang dianggap bermasalah sejak awal pembentukannya.
“Untuk melakukan uji materiil, kami telah mempersiapkan draft permohonan untuk melakukan uji materil terhadap Undang-Undang Nomor 3 tahun 2025,” kata peneliti Imparsial, Riyadh Putuhena kepada wartawan, Kamis (18/9).
Riyadh memperkirakan bahwa pihaknya akan segera mengirimkan gugatan tersebut kepada MK dalam pekan ini.
“Dan akan segera kami daftarkan dalam waktu dekat, mungkin dalam minggu ini,” jelasnya.
Pasal Bermasalah
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menjelaskan ada beberapa pasal bermasalah yang akan dipertimbangkan untuk kemudian diuji materikan kepada MK.
“Banyak sekali kandungan yang bermasalah. Pasal 3, Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 47 itu di antara yang menurut kami pantas untuk diujimaterielkan di dalam langkah hukum konstitusional selanjutnya,” jelasnya.
Berikut isi dari poin-poin penting dari setiap pasal dalam UU TNI yang akan kembali diuji ke MK:
- Pasal 3: Mengatur tentang tugas pokok TNI yang meliputi pelaksanaan kebijakan pertahanan negara, mempertahankan kedaulatan negara, melindungi kehormatan dan keselamatan bangsa, serta melaksanakan Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
- Pasal 7: Mengakomodasi penambahan dua tugas baru dalam OMSP, yaitu menanggulangi ancaman siber dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri, sehingga total menjadi 16 tugas.
- Pasal 8: Tugas TNI AD: Pasal 8 ayat (b) menyatakan bahwa Angkatan Darat melaksanakan tugas TNI dalam menjaga wilayah pertahanan di darat, termasuk perbatasan dengan negara lain. Pengaturan Lebih Lanjut: Pengaturan tugas di bidang pertahanan TNI AD ini akan lebih lanjut diatur melalui peraturan pemerintah.
- Pasal 47: Memperluas jumlah kementerian/lembaga yang dapat dijabat oleh prajurit TNI aktif, yang sebelumnya diatur hanya 10 pos, menjadi 16 institusi.
MK Tolak Permohonan Uji Formil
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan uji formil terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Putusan itu dibacakan dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (17/9).
Dari lima perkara yang diajukan, empat perkara lebih dulu diputus. MK menyatakan permohonan dengan nomor 75/PUU-XXIII/2025, 69/PUU-XXIII/2025, 56/PUU-XXIII/2025, dan 45/PUU-XXIII/2025 tidak dapat diterima karena para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum.
Perkara terakhir, yakni nomor 81/PUU-XXIII/2025, diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang beranggotakan sejumlah lembaga, seperti YLBHI, KontraS, dan Imparsial. Namun, gugatan ini pun akhirnya kandas.
Hakim Konstitusi Guntur Hamzah menjelaskan, pembentuk undang-undang sudah menyediakan berbagai ruang partisipasi publik dalam proses penyusunan UU TNI.
“Sejalan dengan itu, pembentuk undang-undang juga melakukan upaya baik melalui tatap muka dalam berbagai diskusi publik maupun melalui metode berbagi informasi secara elektronik melalui laman resmi maupun kanal YouTube yang dapat diakses oleh masyarakat, terutama para pemangku kepentingan (stakeholders) yang hendak menggunakan haknya untuk berpartisipasi,” kata Guntur dalam sidang.
Menurut Guntur, hal itu menunjukkan tidak ada penghalangan bagi masyarakat untuk terlibat dalam pembentukan UU TNI.
“Artinya, pembentuk undang-undang telah menyediakan beberapa pilihan metode atau sarana partisipasi publik, serta tidak ada upaya untuk menghalangi masyarakat yang hendak berpartisipasi dalam proses pembentukan RUU Perubahan atas UU 34/2004,” jelasnya.
Selain itu, Guntur juga menilai dalil pemohon soal sulitnya mengakses dokumen RUU TNI tidak cukup kuat untuk membuktikan adanya pelanggaran asas keterbukaan.
“Berkenaan dengan permasalahan dokumen yang tidak dapat diakses adalah tidak tepat jika dikaitkan dengan pelanggaran asas keterbukaan sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon,” imbuhnya.
Meski mayoritas hakim sepakat menolak, terdapat empat hakim yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Suhartoyo, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arsul Sani.
“Empat hakim konstitusi tersebut mengatakan bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum dan seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” ujar Ketua MK Suhartoyo. (Dev/M-3)