Ketika STEM Diunggulkan dan Sosial-Humaniora Terdesak ke Jurang

3 weeks ago 11
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
Ilustrasi Anak Belajar Matematika. Foto: Shutterstock

Di banyak negara berkembang, kita sering melihat pembangunan seperti lomba lari. Pemerintah ingin pertumbuhan, ingin inovasi, ingin teknologi tinggi, dan ingin bangga menunjukkan pencapaian di panggung internasional. Dengan angka-angka dan kurva statistik, pameran ini dirasa lebih ilmiah dan tanpa manipulasi. Tentu tidak ada yang salah dengan agenda-agenda tersebut. Namun, ketika ambisi hanya dibangun dari hal-hal yang tampak kasat mata —gedung tinggi, laboratorium canggih, atau angka publikasi—kita lupa bahwa pondasi masyarakat tidak berdiri di atas mesin, kabel, dan kecerdasan buatan. Ia berdiri di atas manusia, pola pikirnya, hubungan sosialnya, dan visi masa depan yang ia bayangkan bersama.

Saya teringat bagaimana John Keating, seorang guru bahasa Inggris sekolah elit dalam Dead Poet Society, mengajarkan siswanya untuk membaca puisi. Bayangkan, sebuah puisi, yang dalam masyarakat modern akan dicemooh sebagai karya imajinasi paling tidak berguna di dunia ini. Saya kutip bagaimana ia mengatakan soal puisi ini:

Kutipan itu bukan sekadar pujian untuk puisi dan kesenian –dua hal yang mulai hilang dalam kehidupan sosial kita. Ini sebagai pengingat bahwa hidup manusia tidak hanya ditopang oleh hal-hal yang membuat kita “bertahan hidup,” tetapi oleh hal-hal yang membuat hidup “layak dijalani.”

Keating menempatkan STEM seperti kedokteran, hukum, teknik, sebagai fondasi biologis dan struktural masyarakat. Tapi puisi, gagasan, refleksi diri, dan imajinasi —yang merupakan inti dari sosial-humaniora adalah ruang di mana manusia menemukan arah, nilai, dan makna keberadaannya. Tanpa itu semua, kemajuan hanya akan melahirkan masyarakat yang sibuk, cepat, dan efisien, tetapi kehilangan inti kemanusiaannya sendiri.

Dan justru karena gagasan semacam ini mengandung daya kritis yang dalam, kita bisa memahami mengapa beberapa tahun terakhir lembaga donor dan penyandang dana internasional, termasuk program prestisius kita LPDP, lebih banyak mengalirkan dananya ke bidang STEM. Pemerintah menyebut prioritas ini sebagai “kebutuhan strategis negara.” Tetapi siapa yang mendefinisikan “strategis”? Jika strategis hanya berarti peningkatan ekonomi (-ekonominya siapa?), maka negara sedang membangun masa depan dengan kacamata sangat sempit. Kita lupa bahwa persoalan bangsa seperti korupsi, birokrasi lamban, media yang bias, ketimpangan dan ketidaksetaraan, adalah persoalan yang tak mungkin disembuhkan oleh teknologi.

Kenapa negara lebih memilih STEM? STEM lebih “terukur.” STEM memiliki output jelas, ada kompetensi yang langsung terserap industri, dan secara politik, bidang ini relatif aman. Tidak ada risiko mahasiswa pulang dengan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang kuasa, struktur sosial, atau ketidakadilan politik.

Sementara itu, mahasiswa sosial-humaniora yang seharusnya bertugas mengajukan pertanyaan paling penting ini malah sering dipinggirkan. Saya ingin bilang dengan clear meskipun tidak banyak dipahami oleh professor yang menjadi Menteri atau Dirjen Kementrian Pendidikan: keberhasilan sebuah bangsa tidak hanya ditentukan kecanggihan teknologinya, tetapi juga kedalaman cara berpikir masyarakatnya.

Ilustrasi beasiswa. Foto: Shutterstock

Pada STEM Modernisme Bernaung

Tentu, tidak ada yang menyangkal bahwa STEM membawa keuntungan besar. Dunia kerja membutuhkan insinyur, programmer, ahli bioteknologi, analis data, dan berbagai profesi baru yang terus muncul. Negara ingin memasuki persaingan global, dan STEM adalah jalur tercepat untuk itu. Setiap teknologi baru dipandang sebagai solusi dari berbagai persoalan: kemacetan dianggap selesai dengan aplikasi transportasi, korupsi diatasi dengan digitalisasi layanan tanpa membenahi mental aparat, dan hoaks dilawan dengan algoritma otomatis seolah masalahnya bukan pada literasi publik yang lemah.

Di mata pemerintah, inilah investasi mudah dijual sebagai bukti kemajuan. Namun di balik semangat itu, kita sebenarnya sedang menyerap logika modernisme: keyakinan bahwa kehidupan sosial dapat diselesaikan melalui standarisasi teknis. Bahwa masalah manusia adalah soal efisiensi, bukan pemaknaan. STEM membuat robot-robot baru berupa manusia yang bekerja tanpa mempertanyakan pekerjaannya, hanya ada pekerjaan selesai, efektif, efisien, menerima gaji, hidup kaya dan bahagia–bahagia yang semu.

Keunggulan STEM juga tampak dari struktur pendanaan pemerintah kita pada bidang penelitian. Pendanaan riset di Indonesia cenderung memberikan hibah penelitian untuk proyek-proyek yang memiliki korelasi aman dengan politik: energi hijau, teknologi pangan, kecerdasan buatan, atau kesehatan digital.

Ketimpangan ini semakin diperparah oleh kebijakan nasional yang menilai hampir semua proposal riset dengan standar Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT). Padahal, TKT adalah alat seleksi teknologis buatan NASA untuk menilai kelayakan vendor—bukan instrumen yang dapat menangkap kedalaman analitis riset sosial-humaniora (SSH). Namun, di Indonesia, TKT ma...

Read Entire Article