Liputan6.com, Jakarta Beberapa musim terakhir jadi masa penuh eksperimen untuk AC Milan. Terlalu banyak sistem yang dicoba-coba justru membuat identitas tim mengabur.
Situasi ini menciptakan inkonsistensi dan kebingungan, baik di ruang ganti maupun di tribun. Stefano Pioli, Paulo Fonseca, hingga Sergio Conceicao, semuanya gagal membuat Rossoneri berbicara dengan bahasa yang sama.
Kini, Massimiliano Allegri datang membawa pendekatan sederhana. Prinsipnya jelas, yakni kembali ke dasar demi mengembalikan identitas Milan. Luka Modric menjadi bagian penting dalam game plan ini.
Coba Hentikan Kami!
Massimiliano Allegri tak membawa kejutan. Ia memilih jalan terang dengan permainan yang terbuka, bisa dibaca lawan, tapi sulit dihentikan.
Gazzetta dello Sport menulis bahwa, “Allegri tidak bersembunyi. Tidak ada rahasia, tidak ada identitas tersembunyi. Tidak. Milan, justru, adalah buku terbuka dan ini soal menghentikannya, bukan menghadapi hal yang tidak diketahui.”
Permainan Milan kini mengandalkan organisasi rapi dan transisi cepat. Ini “sepak bola sederhana dan terorganisir” — yang memang terdengar mudah, tapi sulit dimainkan dengan sukses.
Tiga Wajah Diavolo
Allegri merancang Milan dengan fleksibilitas formasi. Ada 3-5-2 yang bisa bertransformasi jadi 5-4-1 saat melawan lawan yang agresif.
Alternatifnya adalah 4-3-3 untuk dominasi penguasaan bola. Di kedua pendekatan itu, stabilitas tetap jadi kunci utama.
Apa pun formasinya, Milan ingin bergerak vertikal secara cepat dan penuh ancaman. Semua sudah di atas meja — Milan siap bermain tanpa menyembunyikan kartu.
Modric, Sang Pengatur Tempo
Luka Modric diperkenalkan di Casa Milan, dan dia langsung menjawab banyak pertanyaan, termasuk soal perannya. Ia tak ragu soal posisi favoritnya di lapangan.
“Kami sudah sedikit berbicara dengan pelatih, dan saya rasa semua orang tahu di mana saya merasa paling nyaman di lapangan: di tengah, tempat saya bisa mengatur tempo dan memastikan tim bermain dengan baik,” ujar Modric, dikutip Sempre Milan.
Namun, Modric juga siap beradaptasi dengan kebutuhan tim. “Saya masih harus bicara dengan pelatih untuk memahami di mana dia ingin saya bermain. Dari sana, saya harus memberikan segalanya, bermain baik, dan membantu tim. Itu peran saya sepanjang karier.”
Tak lupa, ia menekankan pentingnya kebersamaan. “Tim tetap prioritas, individu tidak pernah penting. Ini harus menjadi mentalitas kami: tidak ada yang lebih besar dari tim. Saya di sini untuk melakukan apa yang diminta pelatih.”
Sumber: La Gazzetta dello Sport, Sempre Milan