TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan mau tak mau Dewan Perwakilan Rakyat harus melaksanakan putusan MK soal pemisahan jadwal pemilihan umum. Jimly mengingatkan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga DPR wajib mematuhinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kalau sudah diputus oleh MK ya kita ikut aja, walaupun kita enggak suka," tutur Jimly saat ditemui di kawasan Jakarta Pusat, pada Selasa, 29 Juli 2025. Menurut Jimly, keputusan hukum memang tidak selalu memuaskan semua orang.
Kendati begitu, ketidakpuasan itu harus dikesampingkan demi membangun tradisi untuk menghormati putusan MK. Dia juga menyebut bahwa DPR sebagai pejabat negara memiliki posisi yang istimewa dibanding rakyat biasa. Sehingga, Jimly mendesak DPR untuk menindaklanjuti putusan MK kendati tidak menyukainya.
"Kalau warga negara biasa boleh menghujat, tidak setuju kepada putusan pengadilan, boleh enggak ada masalah. Tapi kalau kita pejabat, yang sudah diambil sumpah demi Allah, tunduk kepada undang-undang dasar, ya enggak boleh dong. Jadi anggota DPR, ketua DPR, saran saya, jangan begitu," ujar dia.
Pada Kamis, 26 Juni 2025, MK memutus permohonan uji materiil Undang-Undang dalam perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024. MK memutuskan penyelenggaraan pemilu di tingkat nasional dan daerah harus dipisah. Pemilu nasional mencakup pemilu anggota DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden.
Sementara pemilu lokal terdiri atas pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala dan wakil kepala daerah. MK memerintahkan pemilu lokal diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional digelar.
Putusan Mahkamah Konstitusi itu menuai polemik karena fraksi-fraksi partai politik di DPR menunjukkan resistensi. Ketua DPR Puan Maharani pun menyebut putusan MK inkonstitusional karena dianggap melanggar ketentuan UUD 1945 yang mengatur pemilu digelar setiap lima tahun sekali.
Terhadap hal itu, Jimly mengatakan bahwa dibanding memperdebatkan lebih baik DPR segera mengakomodasi putusan MK dalam undang-undang. Ia menerangkan, penyelenggaraan pilkada di luar lima tahun sekali tetap dimungkinkan jika menganut norma hukum transisi.
"Di undang-undang dasar hukum tetapnya lima tahun. Itu tetap. Tapi dalam hal terjadi perubahan, misalnya waktu pilkada, jadwalnya berubah, maka dibuat aturan, nah itu kan hukum transisi," tuturnya mencontohkan. Ia pun mendesak agar DPR lekas melaksanakan putusan MK dengan mengaturnya ke dalam undang-undang.