Di sebuah ruangan sederhana di tempat pengungsian di Batam, Majdah Ishag duduk dengan tenang. Di wajahnya terpancar kelelahan sekaligus keteguhan. Dua hal yang selalu berjalan berdampingan dalam hidup seorang pengungsi.
Ia datang dari Sudan, membawa lima anaknya, meninggalkan rumah dan masa lalu yang porak-poranda oleh perang.
“Nama saya Majdah Ishag. Saya berasal dari Sudan. Saya datang ke Indonesia pada 1 Januari 2016 bersama anak-anak saya,” ujarnya pelan. “Saya memiliki lima anak, semuanya sudah berusia sekolah.”
Sejak saat itu, hidup Majdah tak pernah benar-benar tenang. Di negaranya, perang telah menghancurkan segala yang ia miliki. “Kami menghadapi banyak masalah. Perang, tidak ada uang, dan orang-orang mencuri semua yang kami miliki, termasuk rumah saya,” katanya.
“Karena itu saya datang ke Indonesia dan mendaftar ke UNHCR, berharap mereka bisa membantu anak-anak saya bersekolah dan membantu kami menjalani kehidupan yang lebih baik.”
Namun harapan itu belum menjadi kenyataan. Setelah sembilan tahun berlalu, ia dan keluarganya masih menunggu kepastian penempatan kembali. “
Saya juga berharap bisa mendapat pekerjaan dan penempatan kembali, tetapi sampai sekarang kami belum mendapat penempatan, dan anak-anak saya masih belum bisa bersekolah.”
Majdah dan anak-anaknya menghadapi kendala besar dalam beradaptasi. Bahasa menjadi penghalang pertama, diskriminasi menjadi yang kedua. “Mereka pernah mencoba pergi ke sekolah, tetapi anak-anak Indonesia mengejek mereka karena warna kulit mereka,” kisahnya lirih.
“Karena itu, anak-anak saya menolak pergi ke sekolah. Sekarang mereka hanya tinggal di rumah, tanpa sekolah dan tanpa tempat tinggal yang layak.”
Uang tunjangan dari UNHCR sangat terbatas, hanya cukup untuk kebutuhan paling dasar. “Uang tunjangan dari UNHCR sangat kecil, tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Anak-anak saya sering sakit dan kekurangan gizi,” ujarnya. “Kami membutuhkan lebih banyak bantuan dan penempatan kembali.”
Dari Ruang Kelas ke Medan Perang
Sebelum menjadi pengungsi, Majdah memiliki kehidupan yang berbeda. Ia berasal dari Darfur, kawasan di barat Sudan yang selama dua dekade terakhir dilanda konflik bersenjata dan kekerasan etnis. “Saya berasal dari Darfur, bukan Khartoum. Saya tinggal di sana sepanjang hidup saya. Saya ingin menjadi guru, tetapi karena perang, saya kehilangan ijazah saya,” tuturnya.
Ia pernah berkuliah, bermimpi menjadi pendidik. Namun perang menghapus segalanya. “Setelah perang dimulai, tidak ada yang bisa bekerja, tidak ada uang, tidak ada tempat aman untuk tinggal. Saya dulu belajar sampai universitas sebelum perang, tetapi setelah itu semuanya hancur.”
Ia tak pernah berencana datang ke Indonesia. “Saya tidak memilih Indonesia sebagai tujuan. Saya hanya ingin rumah yang sebenarnya. Tempat aman di mana anak-anak saya bisa bersekolah dan hidup seperti anak-anak lainnya.”
Kini, keseharian Majdah diisi dengan mengajar anak-anak pengungsi di pusat belajar komunitas. “Saya mengajar matematika, sains, dan bahasa Inggris,” ujarnya. Tapi upahnya jauh dari kata cukup. “Mereka hanya memberi saya 50.000 rupiah untuk membeli spidol dan perlengkapan — itu bukan bayaran sebenarnya.”
Meski begitu, mengajar memberinya makna dan rasa berguna di tengah keterbatasan. Tapi setiap hari juga membawa kabar buruk dari tanah air. “Dalam tiga bulan terakhir, saya kehilangan tiga saudara laki-laki di Sudan. Mereka terbunuh dalam perang. Saya merasa sangat sedih.”