AKADEMIKUS di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya Satria Unggul Wicaksana memaparkan bahaya apabila buku dijadikan sebagai alat bukti untuk menyeret seseorang ke dalam jeruji besi. Hal ini menanggapi tindakan aparat yang memamerkan barang bukti berupa buku dari orang-orang yang diduga terlibat demonstrasi yang berakhir kerusuhan Agustus lalu.
Ia menjelaskan, tindakan tersebut berpotensi melemahkan sistem demokrasi melalui pengekangan kebebasan akademik. Sebab, demokrasi yang baik terbangun dari publik yang memiliki kesadaran mengenai haknya sebagai warga negara. Salah satunya adalah hak untuk mengkritik kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada publik.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Sementara kesadaran itu, Satria menjelaskan, akan muncul secara alami apabila masyarakatnya berpengetahuan--satu di antaranya ialah dengan banyak membaca buku. Kondisi ideal tersebut semestinya membuat pemerintah senang.
Namun, Satria melihat tindakan aparat justru semakin brutal menangkap aktivis, lalu menuduhnya berbuat anarkis berbekal buku bacaan mereka. Ini menunjukan bentuk ketakutan rezim akan terbangunnya citizen yang kritis. "Watak anti-sains memang terjadi di seluruh lini, baik pemerintahnya, aparat hukum dan militer," kata Satria saat dihubungi pada Jumat, 19 September 2025.
Jika tindakan-tindakan tersebut tidak dihentikan, Satria khawatir para penegak hukum akan menganggap tindakan represif semacam ini menjadi hal lumrah dan bukan lagi kesalahan. Selain itu, jika tidak dibenahi, maka abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan di tubuh aparat akan semakin terbuka lebar dan dilakukan secara terang-terangan.
Satria mendesak kepolisian berhenti menjadikan buku sebagai instrumen untuk bertindak represif, apalagi dengan dalih keamanan negara. "Hidupkan kebebasan akademik dengan tidak menjadikan buku sebagai alat bukti di peradilan apalagi memidanakan individu atau kelompok," kata dia.
Pada Selasa, 16 September 2025, Kepolisian Daerah Jawa Barat menunjukkan sejumlah barang bukti dalam penetapan 42 tersangka perusuh unjuk rasa di Bandung pada 29-30 Agustus silam. Di antara sederet alat bukti itu terdapat sejumlah buku yang turut disita.
Beberapa di antaranya ialah novel berjudul Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer. Buku ini merupakan bagian kedua dari series tetralogi Buru yang sangat terkenal dan pernah dilarang beredar pada masa orde baru. Buku lainnya ada pula Siapa Pembunuh Palomino Molero; Ekologi Revolusioner; Barbar, Jiwa Manusia di Bawah Sosialisme; dan Seberat Apapun Masalahmu Itu Bukan Masalah.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya lebih dulu menyita sejumlah buku saat menggeledah rumah Direktur Lokataru Foundation Delpedro Marhaen pada Kamis, 4 September 2025. Adapun Delpedro ditangkap dengan alasan telah menghasut dan mengajak sejumlah pelajar, termasuk anak di bawah 18 tahun, untuk melakukan tindakan anarkistis lewat media sosial.