PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang atau RUU Haji mengubah sejumlah ketentuan terkait penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia. Salah satu perubahan penting adalah pengaturan ulang kuota nasional dan mekanisme alokasi jamaah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Regulasi ini juga menetapkan pembagian kuota yang lebih terpusat di bawah kewenangan kementerian terkait. Perubahan tersebut akan memengaruhi proses pendaftaran, distribusi, dan penetapan keberangkatan jamaah pada musim haji berikutnya.
Perubahan Kuota dan Kewenangan Alokasi
Salah satu poin penting dalam RUU Haji yang disahkan adalah perubahan terhadap komposisi kuota jemaah. RUU Haji menetapkan proporsi maksimal 92 persen untuk jemaah reguler dan 8 persen untuk jemaah khusus, dengan disertai perubahan mekanisme penetapan alokasi di tingkat daerah. Ketentuan tersebut diharapkan dapat membuat distribusi kuota lebih terstruktur sesuai ketentuan yang berlaku.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Selain itu, kewenangan penetapan kuota di tingkat kabupaten/kota juga mengalami pergeseran. Dengan aturan baru, pembagian kuota reguler ke provinsi dan kabupaten/kota akan ditentukan langsung oleh menteri yang berwenang, menggantikan peran gubernur sebelumnya. Peralihan kewenangan ini berdampak pada proses administrasi daerah serta pengelolaan data pendaftar haji.
Di sisi lain, RUU Haji turut mengatur pengurangan kuota bagi Tim Pemandu Haji Daerah (TPHD) yang selama ini menggunakan bagian dari kuota reguler. Jumlah petugas akan dibatasi untuk memberi lebih banyak ruang bagi calon jamaah reguler. Kebijakan ini diperkirakan memengaruhi panjang antrean di beberapa daerah serta menuntut penyesuaian peran dan jumlah petugas yang diberangkatkan.
Dampak Administratif dan Penyesuaian Daerah
Menurut laman Kemenag, dampak langsung pada calon jamaah bersifat dua arah tergantung kondisi masing-masing daerah. Beberapa wilayah mungkin akan merasakan manfaat dari penyesuaian kuota, sementara daerah lain perlu menyesuaikan diri dengan perubahan mekanisme baru. Hal ini membuat proses distribusi kuota menjadi lebih dinamis dibandingkan sebelumnya.
Pertama, di daerah dengan jumlah petugas daerah (TPHD) yang selama ini cukup besar, pengurangan jatah petugas dapat membuka ruang tambahan bagi calon jamaah reguler. Dengan tambahan kuota tersebut, antrean di wilayah tersebut berpotensi menjadi lebih pendek. Namun, dampak ini akan berbeda di tiap daerah tergantung seberapa besar porsi TPHD sebelumnya.
Kedua, mekanisme baru penetapan kuota yang kini berada di bawah kendali menteri dapat mengubah porsi alokasi antar kabupaten/kota. Daerah yang sebelumnya diuntungkan oleh kebijakan provinsi mungkin akan mengalami penyesuaian dalam distribusi kuota. Perubahan ini juga memerlukan pembaruan data calon jamaah serta koordinasi yang lebih erat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Biro perjalanan, kafilah, dan pemerintah daerah kini menghadapi konsekuensi administratif setelah pengesahan RUU Haji. Travel agent dan pemerintah daerah perlu menyesuaikan proses pendaftaran, verifikasi berkas, serta perencanaan embarkasi jika kuota dialokasikan ulang. Selain itu, pengurangan jatah petugas daerah mengharuskan pembelajaran ulang terkait standar penugasan dan rotasi petugas di lapangan.
Risiko pelaksanaan juga menjadi titik perhatian dalam masa transisi kebijakan ini. Potensi resistensi lokal terhadap redistribusi kuota, kebutuhan harmonisasi data pendaftar nasional, dan pentingnya peraturan turunan yang jelas menjadi aspek utama yang harus diantisipasi. Oleh karena itu, diperlukan peta jalan penetapan kuota, mekanisme banding atau aduan, serta jadwal implementasi agar perubahan tidak mengganggu rencana keberangkatan jamaah.
Pengesahan RUU Haji menetapkan perubahan mendasar pada sistem kuota haji dan alokasi jamaah di Indonesia. Masa transisi diperlukan untuk menyesuaikan mekanisme administrasi, pembagian kuota, dan koordinasi antarwilayah. Ketentuan ini akan menjadi acuan dalam pelaksanaan penyelenggaraan haji pada periode berikutnya.