RANCANGAN Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset masuk dalam program legislasi nasional atau prolegnas prioritas tahun 2025. Koalisi masyarakat sipil memberikan sejumlah catatan supaya RUU Perampasan Aset ini tidak disusun untuk kepentingan elite dan menghilangkan esensi dari upaya perampasan aset.
Anggota koalisi sekaligus peneliti Indonesia Corruption Watch atau ICW Wana Alamsyah mengatakan DPR wajib mempertimbangkan partisipasi bermakna dalam membahas RUU Perampasan Aset. DPR tidak boleh melakukan pembahasan RUU Perampasan Aset tanpa melibatkan seluruh elemen masyarakat sipil. Pembahasannya pun tidak boleh serampangan dan terburu-buru.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
"DPR juga harus transparan dan membuka seluas-luasnya informasi mengenai perkembangan pembahasan RUU Perampasan Aset," ujar dia dalam keterangan resmi, Rabu, 10 September 2025.
Sejak disepakatinya RUU Perampasan Aset menjadi Prolegnas Prioritas 2025, tersisa kurang lebih hanya 4 (empat) bulan sebelum 2026. Wana mengatakan, bila lewat dari tenggat waktu, maka terdapat potensi RUU Perampasan Aset kembali mengawang tidak dibahas.
Menurut dia, naskah akademik dan draf RUU yang semula sudah disusun di periode sebelumnya tidak perlu dirombak secara keseluruhan atau diulang dari awal. Tujuannya untuk menghindari proses yang terlalu lama.
Koalisi juga menyarankan pembahasan RUU Perampasan Aset harus dibahas bersamaan dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau RKUHAP. Tujuannya untuk menghindari tumpang tindih aturan yang menyebabkan ketidakpastian hukum. Sebab, terdapat beberapa pasal antara RUU Perampasan Aset dengan RKUHAP yang bersinggungan. Di antaranya kewenangan penegak hukum dan status aset hasil tindak pidana.
Apalagi RKUHAP saat ini masih memiliki banyak catatan, sehingga tidak memungkinkan untuk disahkan pada 2025. "Meski begitu setidaknya pembahasan harus terus bergulir dengan tetap mementingkan partisipasi yang bermakna," ujar dia.
Wana menyatakan ada beberapa isu yang wajib untuk dibahas oleh DPR. Salah satunya aturan mengenai unexplained wealth order atau harta yang tidak dapat dijelaskan sumbernya. Unexplained wealth order merupakan konsep dasar dari illicit enrichment atau pengayaan ilegal. Bila seorang pejabat publik memiliki harta yang melebihi dari pendapatan seharusnya dan tidak dapat dijelaskan asal dari harta tersebut, maka patut diduga harta tersebut adalah hasil dari suatu tindak pidana, misalnya suap atau gratifikasi.
Selain itu, ada isu mengenai mekanisme upaya paksa dan pengawasan terhadap upaya paksa. Wana berkata RUU Perampasan Aset sangat berkaitan dengan upaya paksa. Meski RUU Perampasan Aset tidak mengandalkan pemidanaan terhadap pelakunya, namun terhadap aset yang diduga hasil tindak pidana penyidik dapat melakukan pemblokiran maupun penyitaan. Kedua hal ini merupakan salah satu bentuk upaya paksa yang akan membatasi hak seseorang.
Dia berkata mekanisme upaya paksa dalam RUU Perampasan Aset wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian, agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Mekanisme pengawasan juga harus diperhatikan. "Misalnya dengan menggunakan sistem hakim komisaris atau hakim pemeriksa pendahuluan agar memastikan pelindungan hak warga negara," ujar dia.
Adapun pemerintah menyetujui RUU Perampasan Aset masuk dalam prolegnas prioritas tahun 2025. Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyampaikan ini dalam rapat kerja dengan Badan Legislasi DPR soal evaluasi prolegnas prioritas 2025. Pemerintah, dia menegaskan, siap membahas RUU Perampasan Aset bersama DPR. Ia lantas menambahkan, “Nanti naskah akademik maupun juga materi RUU-nya kita boleh saling sharing nanti.”
Sementara itu, Ketua Baleg DPR Bob Hasan menyampaikan ada 9 usulan RUU untuk masuk dalam prolegnas jangka menengah 2025-2029. Beberapa di antaranya RUU Kepolisian RI, RUU Pelindungan Data Pribadi, RUU Transportasi Online, hingga RUU Pekerja Lepas Indonesia.
Pilihan Editor: Sumber Dana Partai: Penghasilan Besar Anggota DPR