
ANGOLA dilanda kekacauan menyusul gelombang protes terhadap kenaikan harga bahan bakar yang berujung pada kerusuhan luas. Pemerintah mengonfirmasi bahwa setidaknya 22 orang meninggal dunia dan 197 lainnya terluka dalam aksi yang berlangsung sejak awal pekan ini.
Kerusuhan pecah pada Senin lalu, saat asosiasi taksi minibus meluncurkan aksi mogok selama tiga hari untuk menentang kebijakan pemerintah yang menaikkan harga solar hingga sepertiga. Langkah ini dilakukan sebagai bagian dari pemangkasan subsidi energi yang dianggap membebani anggaran negara.
Bentrok antara pengunjuk rasa dan aparat keamanan menyebar dari ibu Kota Luanda ke enam provinsi lainnya. Penjarahan, perusakan properti dan suara tembakan sporadis dilaporkan terjadi di beberapa kota pada Senin dan Selasa.
Dalam pertemuan kabinet Presiden Joao Lourenco pada Rabu (30/7) pemerintah melaporkan total 1.214 orang telah ditangkap.
Selain itu, 66 toko dan 25 kendaraan rusak, dan sejumlah supermarket serta gudang dijarah. Pemerintah juga menyatakan telah mengerahkan militer untuk mengembalikan stabilitas, karena eskalasi kerusuhan menciptakan iklim ketidakamanan yang meluas.
Menteri Dalam Negeri Manuel Homem menyebutkan bahwa satu dari 22 korban jiwa adalah anggota kepolisian.
Situasi di Luanda pada Rabu tetap mencekam, dengan jalanan tampak sepi, kehadiran aparat keamanan cukup besar dan beberapa antrean terlihat di SPBU dan toko. Meskipun sebagian besar toko masih tutup, layanan transportasi mulai kembali berjalan secara bertahap setelah sempat lumpuh selama dua hari.
Gelombang protes ini merupakan kelanjutan dari aksi dua minggu sebelumnya. Human Rights Watch mengecam tindakan aparat yang dinilai menggunakan kekuatan secara berlebihan terhadap demonstrasi yang sebagian besar berlangsung damai. Pihak kepolisian dilaporkan menembakkan gas air mata dan peluru karet tanpa alasan yang jelas serta menyerang demonstran.
Sejak 2023, pemerintah Angola secara bertahap mencabut subsidi bahan bakar. Langkah ini, didorong oleh lembaga seperti Dana Moneter Internasional, juga memicu aksi protes mematikan tahun lalu.
Menurut Kementerian Keuangan, subsidi bahan bakar menghabiskan hingga 4% dari produk domestik bruto (PDB) negara tersebut.
Dalam pernyataan bersama, partai oposisi UNITA dan Bloco Democratico menyebut Angola tengah menghadapi krisis ekonomi dan sosial yang parah. Mereka menilai kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan kondisi rakyat dan memperparah ketimpangan sosial di negara produsen minyak terbesar kedua di Afrika tersebut. (H-3)