MI/Seno(Dok. Pribadi)
PAGI itu, matahari baru saja menembus celah pepohonan di halaman sebuah SMA Negeri di Kabupaten Wonosobo. Para murid berbaris rapi di halaman sekolah, bersiap mendengarkan arahan dari kepala sekolah. Dari wajah-wajah lugu mereka tersimpan beribu pertanyaan dan perasaan gundah akibat kebijakan baru Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) tentang tes kemampuan akademik (TKA) yang mereka baca dari media sosial.
Beberapa saat kemudian kepala sekolah menempati podiumnya dan mulai menjelaskan bahwa TKA yang mereka cemaskan bukan ujian kelulusan seperti ujian nasional yang pernah menjadi momok di negeri ini, melainkan sekadar sarana pemetaan capaian belajar. Sontak para murid tampak lega dan antusias meskipun rasa cemas juga masih menghantui pikiran mereka. Di satu sisi, mereka lega tidak harus berhadapan dengan tekanan 'lulus atau tidak lulus'. Di sisi lain, mereka khawatir menghadapi sesuatu yang baru, yang belum benar-benar mereka pahami.
Jika dilihat dari semangatnya, kebijakan TKA lahir untuk menghadirkan sistem penilaian yang lebih adil dan bermakna. TKA bukan sekadar menghitung angka, melainkan berusaha memotret kemampuan dasar seperti kemampuan bernalar, berpikir kritis, memahami konteks, dan menerapkan pengetahuan pada persoalan nyata yang seharusnya dimiliki setiap murid. Pemerintah berharap dari hasil pemetaan itu dapat dirancang strategi peningkatan mutu pendidikan secara nasional (Media Indonesia, 5/7/2025).
Suasana TKA juga dibuat senatural mungkin karena memang tidak ada yang perlu dicemaskan. Pelaksanaan tes itu didesain agar menyenangkan dan rileks dalam kerangka membimbing murid untuk tumbuh.
Namun, di negeri seluas Indonesia, kebijakan yang baik di atas kertas sering kali menemui jalan berliku di lapangan. Keadilan yang diidamkan belum tentu mudah terwujud di ruang-ruang kelas yang kondisinya berbeda-beda.
Di sekolah-sekolah perkotaan, siswa mungkin terbiasa menggunakan komputer, mengakses soal daring, atau berlatih lewat aplikasi. Sementara itu, di pelosok, listrik pun terkadang padam sebelum ujian dimulai. Di sinilah letak tantangan sejati kebijakan TKA. Tidak hanya memastikan keseragaman ukuran, tetapi juga memastikan kesetaraan kesempatan.
CAHAYA DARI SORONG
Beberapa minggu sebelum TKA dilaksanakan, di ujung timur Indonesia, seberkas harapan datang dari Kota Sorong, Papua Barat Daya. Di sana Kemendikdasmen menggelar kegiatan sosialisasi dan simulasi TKA bagi ratusan siswa SMA. Tidak sekadar mengenalkan format tes, tetapi juga mendampingi guru-guru dan memberikan pelatihan agar mereka mampu mengelola pembelajaran berbasis penalaran (Suara Merdeka, 2/10/2025).
Di sebuah aula sederhana, ratusan anak duduk berjejer, mata mereka menatap layar besar yang menampilkan contoh soal TKA. Joshua Drivano Klasjok, siswa kelas XII yang bercita-cita menjadi dokter, mengaku bahwa pengalaman itu membuka cara berpikirnya. Soal-soal TKA tidak lagi sekadar menuntut hafalan rumus, tetapi juga mengajak mereka menalar, menghubungkan pengetahuan dengan kehidupan sehari-hari. “Saya jadi lebih memahami kenapa belajar itu penting, bukan cuma untuk nilai,” katanya, tersenyum malu di depan kamera wartawan.
Kisah di Sorong menjadi gambaran kecil bahwa kebijakan TKA dapat memberikan makna baru bagi proses belajar sejauh proses tersebut tidak dibiarkan berjalan sendiri. Keberhasilan awal itu terjadi karena sekolah, pemerintah daerah, dan pusat bekerja bersama. Guru-guru dilibatkan, siswa didampingi, dan lingkungan belajar disiapkan. Dalam suasana itu, TKA menjadi penerang masa depan, bukan sekadar instrumen pengukuran.
Rupanya cahaya dari Sorong memancarkan semangat keberhasilan pelaksanaan TKA di berbagai daerah. Di SMA Negeri 1 Rengen, Kabupaten Tuban, misalnya, proses ujian berjalan dengan tertib dan penuh semangat. Pelaksanaannya juga tidak lagi dianggap sebagai ujian yang menyeramkan, tetapi tentang pendidikan kejujuran dan tanggung jawab. Cerita serupa terdengar dari SMA Negeri 2 Tanggul di Jember. Siswa mengikuti pelaksanaan TKA dengan penuh antusias, sementara guru mendampingi dengan tenang. Menariknya, kepala sekolah menilai TKA sebagai momentum reflektif perbaikan cara belajar. Sementara itu, di SMA Negeri Pare, Kediri, berlangsung dengan baik. Sepanjang pelaksanaan yang berlangsung selama tiga hari, tidak ada gangguan teknis.
Di Jawa Tengah, dinas pendidikan dan kebudayaan (disdikbud), sebagai pihak pelaksana teknis dan koordinator di daerah, memastikan bahwa pelaksanaan tes kemampuan akademik (TKA) yang berjalan sejak 3 November di 35 kabupaten dan kota berjalan dengan lancar (Espos, 10/11/2025).
Beberapa contoh yang disebutkan di atas menunjukkan indikator penting bahwa esensi TKA bukan menilai siapa yang paling pandai, melainkan siapa yang paling berkembang. Itu karena tes tersebut dimaksudkan sebagai cermin untuk melihat di mana kekuatan dan kelemahan siswa, guru, serta sistem pendidikan kita. Hasilnya bukan untuk menghukum, melainkan untuk memperbaiki.
DARI PENGUKURAN KE PEMBINAAN
Di sinilah tantangan terbesar pendidikan Indonesia bagaimana mengubah budaya evaluasi dari sekadar testing of learning menuju learning from testing. Selama puluhan tahun (2005-2020), sistem pendidikan kita terjebak dalam ritual ujian. Murid diajari menghafal rumus dan tanggal, bukan memahami makna. Sekolah sibuk mengejar nilai tinggi, bukan mengasah nalar dan empati. Ujian menjadi tujuan akhir, bukan alat pembelajaran.
TKA, jika dijalankan dengan benar, berpotensi memutus lingkaran lama yang menghantui murid dan sekolah. Dengan menekankan kemampuan berpikir kritis dan pemahaman kontekstual, tes ini bisa menjadi titik tolak untuk memperbaiki cara mengajar guru dan cara belajar murid. Namun, itu hanya mungkin bila hasil TKA dimanfaatkan secara reflektif.
Sekolah perlu menjadikan hasil tes sebagai bahan evaluasi, bukan sekadar laporan administratif. Guru-guru perlu membaca hasil TKA untuk merancang pembelajaran remedial, bukan hanya membagikan peringkat.
Kemendikdasmen menyebut bahwa TKA akan dilaksanakan secara bertahap. Tahun ini untuk siswa SMA/SMK, sementara jenjang SD dan SMP menyusul pada 2026.
Pelaksanaan bertahap itu penting agar daerah-daerah punya waktu menyiapkan sarana dan tenaga. Namun, lebih dari sekadar teknis, yang perlu disiapkan ialah mentalitas baru. Bahwa penilaian sejati tidak diukur dari angka semata, tetapi dari kemampuan membangun pembelajaran yang berkelanjutan.
Dalam konteks inilah, peran guru menjadi kunci. Mereka bukan sekadar pengawas ujian, melainkan juga penafsir makna dari setiap data hasil TKA. Seorang kepala sekolah SMA di Surabaya bercerita bagaimana ia memahami konsep dasar dari TKA setelah sekolahnya melaksanakan TKA gelombang pertama, “Saya senang dengan adanya TKA karena tahu kemampuan anak-anak kami dan sangat bermanfaat bagi perencanaan pengajaran di sekolah ke depan," ujarnya (Kumparan, 5/11/2025).
Pendidikan bukan sekadar soal kemampuan kognitif, melainkan juga kesadaran moral dan sosial. Tes yang hanya mengukur angka tanpa menumbuhkan karakter akan kehilangan ruhnya. Karena itu, keberhasilan TKA tidak boleh diukur dari seberapa cepat data terkumpul, tetapi dari seberapa jauh pelaksanaannya dalam menumbuhkan semangat belajar yang jujur, berani, dan bertanggung jawab.
Di sinilah pemerintah perlu berhati-hati. Jangan sampai TKA yang dimaksudkan untuk mengganti trauma ujian nasional justru menjadi sumber tekanan baru. Jika sekolah kembali menilai keberhasilan dari peringkat TKA atau orangtua menekan anaknya demi skor tinggi, kita akan kembali ke titik awal.
TKA harus ditempatkan sebagai ruang pembelajaran bersama. Tempat guru, siswa, dan orangtua duduk sejajar membaca makna data, bukan saling menuding. Dari hasil TKA, sekolah dapat mengetahui kompetensi mana yang perlu diperkuat, pemerintah daerah dapat merancang pelatihan guru sesuai kebutuhan, sementara siswa dapat melihat sendiri kemajuan belajarnya. Dengan begitu, penilaian berubah menjadi perjalanan, bukan vonis.
MENUJU KEADILAN
Tentu, jalan menuju sistem asesmen yang adil dan bermartabat masih panjang. Keadilan pendidikan tidak cukup diukur dengan standar yang sama, tetapi juga dengan peluang yang setara. Anak di pesisir Flores, di lereng Merapi, dan di tengah metropolitan Jakarta berhak mendapatkan pijakan yang sama untuk bermimpi. Jika TKA benar-benar ingin menjadi alat pemerataan, hasilnya harus diikuti dengan tindakan afirmatif: mulai peningkatan fasilitas, pelatihan guru, hingga dukungan khusus bagi sekolah yang tertinggal.
Keadila...
.png)
3 weeks ago
18




















