Jakarta, CNBC Indonesia - Rencana pembatasan harga gas bumi tertentu (HGBT) untuk industri mendapat sentimen negatif dari pelaku usaha di bidang manufaktur. Sektor industri keramik sudah merasakan dampak keras akibat kebijakan pembatasan HGBT tersebut, yakni merumahkan ratusan pekerjanya.
"Yang paling baru aja ada dua industri Tableware di Tangerang terpaksa merumahkan sekitar 700 karyawannya. Ini ya karena pembatasan kuota pemanfaatan HGBT dan ketika masuk ke surcharge Gas regasifikasi LNG harganya mahal," kata Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik (Asaki), Edy Suyanto kepada CNBC Indonesia, Selasa (19/8/2025).
Keputusan tersebut didorong oleh informasi terbaru untuk industri keramik yang berada di Jawa bagian Barat ada pembatasan pemakaian gas harian, yakni mulai tanggal 13 Agustus sampai dengan 31 Agustus 2025. Artinya ketika industri ini memanfaatkan lebih banyak maka terkena biaya lebih besar.
"Jadi hanya diperbolehkan memanfaatkan volume gas HGBT sebanyak 48%, dan selebihnya dikenakan Surcharge 120% dari harga $14,8usd/mmbtu setara $17,8usd/mmbtu, alasannya sih katanya force majeure," ujar Edy.
Asaki sangat menyayangkan kondisi gangguan supply Gas yang telah berlarut-larut dengan tanpa ada solusi atau perbaikan pasokan gas telah memakan korban,
"Pemerintah perlu cari solusi segera berkaitan gangguan supply gas, supaya tidak semakin banyak industri yang merumahkan karyawan, kita khawatir nantinya bisa lebih dari itu, ada potensi PHK," sebut Edy.
Sebelumnya Kemenperin menyebut gas bumi memiliki peran vital, baik sebagai bahan baku maupun sumber energi dalam proses produksi. Industri pupuk, kaca, keramik, baja, oleokimia, hingga sarung tangan karet termasuk di antara penerima manfaat program HGBT yang selama ini ditetapkan pemerintah melalui Peraturan Presiden dengan harga sekitar USD 6,5 per MMBTU.
"Ini yang mengherankan. Pasokan gas harga di atas USD 15-17 lancar. Tapi, pasokan gas USD 6,5 tidak lancar. Jika terjadi pengetatan, harga melonjak hingga USD 1517 per MMBTU. Ini kan aneh. Mesin-mesin produksi bisa terpaksa dihentikan, dan untuk menyalakan kembali butuh waktu lama serta energi dan biaya lebih besar," jelas Jubir Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief.
Pembatasan HGBT tidak hanya mengancam kelangsungan produksi, tetapi juga berpotensi menurunkan utilisasi pabrik, bahkan hingga penutupan usaha dan PHK pekerja industri.
"Lebih dari 100 ribu pekerja di sektor penerima manfaat HGBT akan terdampak. Bila industri menurunkan kapasitas atau menutup pabrik, PHK tidak dapat dihindarkan," tegasnya.
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasokan Gas RI Nyata Sudah Turun, Industri Tuding Biang Masalahnya