Kawasan hutan adat di Aceh(MI/AMIRUDDIN ABDULLAH REUBEE)
ALIANSI Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menekankan pentingnya percepatan pengakuan dan penetapan hutan adat yang hingga kini masih menghadapi hambatan struktural dan perbedaan tafsir antarinstansi. AMAN menilai, meski pemerintah telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Penetapan Hutan Adat, proses di lapangan belum berjalan optimal.
Deputi II Sekjen AMAN Bidang Advokasi dan Politik Erasmus Cahyadi mencontohkan proses pengakuan hutan adat di Papua. Prosesnya sering kali tersendat karena belum ada keseragaman pemahaman antara istilah tanah ulayat yang digunakan dalam peraturan daerah otonomi khusus Papua dan konsep hutan adat yang diatur dalam kebijakan kehutanan nasional.
“Dua istilah ini sering dianggap sama padahal berbeda, sehingga menyebabkan pelaksanaan di tingkat daerah berjalan lambat,” ujar Erasmus dalam diskusi bertajuk Suara Masyarakat Adat bagi Keadilan Iklim, Rabu (12/11).
Sejak keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012 (MK35) yang menegaskan hutan adat bukan lagi hutan negara, berbagai pihak berharap pengakuan dan penetapan hutan adat dapat berlangsung lebih cepat. Namun, menurut dia, proses itu justru belum menunjukkan percepatan signifikan.
“Padahal instrumennya sudah lengkap. Keberadaan Satgas Hutan Adat seharusnya bisa menjadi ruang kerja bersama untuk mempercepat pengakuan masyarakat hukum adat,” ungkap Erasmus.
Sebagai informasi, Satgas Percepatan Penetapan Hutan Adat dibentuk melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 144 Tahun 2025 sebagai wadah kolaborasi antara pemerintah dan organisasi masyarakat sipil. Dalam Satgas ini, terlibat perwakilan dari AMAN, BRWA, WALHI, JKPP, HUMA, dan WRI, yang secara rutin menggelar rapat untuk menyusun peta jalan percepatan penetapan hutan adat.
Menurut Erasmus, hingga kini sekitar 345 ribu hektare hutan adat telah ditetapkan di 19 provinsi. Pemerintah menargetkan penetapan mencapai 1,4 juta hektare pada 2029 atau 2030 sesuai komitmen nasional. Meski demikian, AMAN menilai capaian itu masih dinamis karena banyak daerah yang telah mengajukan penetapan belum memenuhi syarat administratif.
AMAN juga menyoroti perlunya sinergi lintas kementerian dan pemerintah daerah. “Kementerian Kehutanan tidak bisa bekerja sendiri. Pemerintah kabupaten perlu aktif menerbitkan perda dan keputusan kepala daerah tentang masyarakat hukum adat,” ujar Erasmus.
Selain soal kelembagaan, ia menilai luas hutan adat yang ditetapkan pemerintah masih sangat kecil dibandingkan total wilayah adat. Sebagai contoh, di wilayah adat Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, dari total 23 ribu hektare wilayah adat, hanya sekitar 300 hektare yang ditetapkan sebagai hutan adat.
“Kondisi ini memperlihatkan betapa belum seimbangnya pengakuan formal negara terhadap realitas sosial masyarakat adat,” lanjut dia.
Erasmus menekankan bahwa masyarakat adat selama ini terbukti menjaga ekosistem hutan dan keanekaragaman hayati melalui sistem hukum adat yang telah berlangsung turun-temurun. “Yang dibutuhkan masyarakat adat sekarang hanyalah dukungan politik dan perlindungan hukum agar mereka bisa terus menjaga hutan,” pungkasnya.
Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan mengakui bahwa percepatan pengakuan hutan adat memang masih menghadapi berbagai kendala. Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) di Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial Julmansyah menjelaskan, sebagian besar hambatan terjadi pada tahap identifikasi dan verifikasi masyarakat hukum adat yang menjadi dasar penetapan hutan adat.
“Kami berupaya memperkuat koordinasi dengan pemerintah daerah karena dasar hukum berupa perda atau keputusan kepala daerah menjadi salah satu prasyarat utama penetapan,” kata Julmansyah.
Ia menambahkan, pemerintah tetap berkomitmen untuk mempercepat penetapan hutan adat melalui kolaborasi dengan berbagai pihak. “Kami terbuka terhadap masukan dari AMAN, BRWA, dan organisasi lain dalam Satgas. Sinergi ini penting untuk memastikan bahwa masyarakat adat yang memang telah hidup turun-temurun di wilayah hutan memperoleh pengakuan dan perlindungan hukum,” ujarnya.
Salah satu langkah yang sedang dilakukan untuk mempercepat proses adalah memperbanyak jumlah verifikator di daerah. Selama ini, proses verifikasi dan validasi masyarakat hukum adat kerap terhambat karena keterbatasan tenaga verifikator yang sebagian besar masih terpusat di Jakarta. Pemerintah bersama Satgas telah melatih sekitar 60 verifikator baru, termasuk dari Papua dan Maluku Barat Daya, agar proses pengakuan dapat lebih cepat.
Kementerian juga tengah menyiapkan mekanisme pelaporan progres percepatan yang dapat dipantau publik secara daring, agar proses penetapan lebih transparan dan akuntabel. “Kita ingin memastikan seluruh proses berjalan adil, terukur, dan sesuai prinsip keberlanjutan,” tutupnya.(M-2)
.png)
3 weeks ago
11






















