Warga melihat bangkai gajah sumatra tertimbun material yang terbawa air saat terjadi banjir di Desa Meunasah Lhok, Pidie Jaya, Aceh.(Antara)
BENCANA banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi di Aceh, Sumatra Utara (Sumut) dan Sumatra Barat (Sumbar) pada akhir November hingga awal Desember 2025 menjadi pengingat pentingnya penguatan ketahanan ekologis dan tata ruang di kawasan hulu Sumatra.
Kepala Program Studi Magister dan Doktor Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) dan Transportasi ITB, Saut Aritua Hasiholan Sagala Sabtu (6/12) menyatakan bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi di Sumatera erat kaitannya dengan laju deforestasi yang tinggi dan konversi lahan di daerah tangkapan air, khususnya di wilayah Bukit Barisan.
“Terkait kerusakan lingkungan, itu berhubungan dengan bagaimana laju deforestasi di Sumatra yang termasuk tinggi di Indonesia. Dan ini berhubungan juga dengan konversi lahan di daerah tangkapan air,” terangnya.
Saut menambahkan, pembukaan lahan dan alih fungsi hutan di wilayah hulu menyebabkan bentang alam di daerah aliran sungai (DAS) kehilangan kemampuan untuk menyerap air. Ketika terjadi curah hujan ekstrem ditambah dengan siklon seperti yang terjadi saat ini, lahan yang terbuka menyebabkan limpasan air (run-off) meningkat drastis. Kecepatan aliran air, ditambah kemiringan lereng, tidak hanya membawa volume air besar, tetapi juga material berat seperti kayu gelondongan dan sedimen ke pemukiman di wilayah hilir.
"Penguatan tata ruang menjadi salah satu kunci pencegahan bencana hidrometeorologi ke depan dan pentingnya penerapan analisis risiko dalam pengambilan keputusan, terutama untuk wilayah hulu dan hilir yang saling terhubung secara ekologis," tuturnya.
Saut menerangkan, dalam ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota, setiap alih fungsi lahan dihitung eksternalitasnya, yaitu dampak yang ditimbulkan di luar lokasi izin, terutama ke wilayah hilir. Integrasi pendekatan ini dapat membantu memastikan bahwa pembangunan berjalan selaras dengan aspek keselamatan publik dan keberlanjutan lingkungan.
ARAH KEBIJAKAN
Menghadapi situasi darurat ini, Saut menekankan beberapa langkah rehabilitasi dan penguatan kebijakan yang harus segera dilakukan. Prioritas utama adalah peninjauan ulang tata ruang untuk mengubah zonasi di daerah berisiko tinggi, seperti sempadan sungai yang harus dibebaskan dari permukiman. Selain itu, pemerintah perlu memberlakukan moratorium serta melaksanakan program penanaman kembali (reboisasi) di daerah-daerah yang telah gundul.
"Saya menyerukan agar pembangunan mengadopsi kerangka ekologi politik, yaitu setiap pemberian izin dan pembangunan harus melalui perhitungan cost-benefit yang jujur, memastikan manfaat ekonomi tidak hanya sesaat dan memperhatikan risiko ekologi jangka panjang, termasuk dampak perubahan iklim," tegasnya.
STRATEGI PEMBIAYAAN
Untuk mengatasi risiko kerugian finansial tahunan yang mencapai puluhan triliun, Saut memandang Indonesia harus meninggalkan ketergantungan tunggal pada APBN dan beralih ke Strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB). Strategi ini mengombinasikan retensi, melalui penggunaan dana siap pakai, dan transfer risiko.
“APBN saja tidak akan pernah cukup untuk menutupi potensi kerugian tahunan yang bisa mencapai Rp50 triliun, belum lagi ada ancaman seperti climate change. Kita perlu masukkan itu dalam skenario model kita sehingga kita bisa mengatakan kalau terjadi seperti ini kita sudah punya pembiayaan,” paparnya.
Implementasi transfer risiko kata Saut, telah dimulai dengan program Asuransi Barang Milik Negara (BMN), yaitu aset-aset pemerintah seperti bangunan dan jembatan diasuransikan. Langkah ini memastikan aset negara sudah terlindungi secara ekonomi, sehingga fokus dana pemerintah dapat dialihkan kepada sektor-sektor yang belum tercakup, terutama masyarakat.
"Terkait dengan mekanisme baru, Pooling Fund Bencana (PFB), beliau berpendapat bahwa dana bersama ini tidak akan langsung mengurangi ketergantungan pada APBN dalam waktu dekat karena porsi terbesar tetap berada di APBN. Namun, PFB berfungsi sebagai penguat pendanaan yang ada, mengisi kekosongan fiskal, dan mengatasi kelambatan administrasi yang sering terjadi dalam penyaluran dana APBN," imbuhnya.
Saut menekankan bahwa PFB harus secara integral dikaitkan dengan pemodelan risiko (risk model) yang komprehensif untuk memastikan efektivitasnya dalam menutup celah pendanaan yang ada. PFB harus memiliki fleksibilitas untuk mengakomodasi keragaman tingkat ekonomi masyarakat.
“Bagi kelompok yang mampu, mekanisme ini dapat mendorong mereka membeli asuransi untuk perlindungan diri, sementara bagi masyarakat miskin atau ekstrem, PFB dapat membantu melalui skema subsidi atau bantuan langsung,” ujarnya.
Unsur edukasi kata Saut, perlu dilakukan dalam FPB untuk meningkatkan kemampuan mitigasi di tingkat komunitas dan mendorong masyarakat memilih lokasi tinggal yang aman. Beliau menegaskan bahwa Pooling Fund Bencana berfungsi sebagai mekanisme yang memperkuat pendanaan yang sudah ada demi meningkatkan ketahanan bangsa dalam menghadapi bencana.(E-2)
.png)
1 day ago
1






















