GURU Besar Teknik Geologi dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwikorita Karnawati, menjelaskan penyebab skala banjir dan tanah longsor di Sumatera bisa berdampak signifikan hingga menyebabkan tiga provinsi luluh lantak secara bersamaan.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Dwikorita mengatakan rangkaian banjir bandang dan longsor yang melumpuhkan daerah di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh itu merupakan manifestasi dari interaksi kompleks antara perubahan iklim akibat aktivitas manusia atau antropogenik dan dinamika alamiah sistem bumi.
"Kombinasi keduanya membuat bencana hidrometeorologi semakin sering, semakin ekstrem, semakin panjang durasi kejadiannya dan semakin rumit diprediksi," kata dia melalui keterangan tertulis pada Sabtu, 6 Desember 2025.
Mantan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) ini menjelaskan, rekonstruksi suhu bumi selama 400 juta tahun terakhir menunjukkan bahwa fluktuasi atau perubahan iklim memang terjadi secara alami akibat aktivitas vulkanik, variasi orbit bumi, hingga perubahan sirkulasi samudra. Namun, percepatan pemanasan yang terjadi dalam 150 tahun terakhir terjadi berkali-kali lipat lebih cepat dibandingkan perubahan alamiah manapun dalam kurun waktu geologis.
Kenaikan suhu tersebut kemudian memperbesar kapasitas udara menyimpan uap air. Ketika dilepaskan dalam bentuk hujan, energinya jauh lebih besar dan lebih eksplosif. Pada titik inilah faktor antropogenik atau kerusakan iklim akibat manusia membuat hujan memicu bencana, sebagaimana yang terjadi di Sumatera.
“Sumatera secara geologis memang rawan longsor dan banjir bandang karena topografinya curam dan struktur batuannya labil. Tetapi ketika ditambah curah hujan ekstrem akibat pemanasan global dan kerusakan tutupan lahan, maka risiko dan dampaknya meningkat secara drastis dan masif,” tutur dia.
Karena itu, ia menegaskan tragedi nahas di Sumatera tidak disebabkan oleh perubahan cuaca semata. Melainkan perpaduan dari adanya cuaca ekstrem, kerusakan hutan yang melemahkan daya serap kawasan hulu dan daya dukung lingkungan, ditambah kondisi geomorfologi alami Sumatera yang sarat lereng curam dan sesar aktif.
"Inilah yang saya sebut sebagai coupled hazards, di mana faktor alamiah dan antropogenik tidak berdiri sendiri, melainkan saling menguatkan sehingga bencana menjadi lebih destruktif,” kata dia.
Dwikorita lantas mengingatkan bahwa bencana tersebut merupakan sinyal bahwa sistem lingkungan Indonesia berada dalam tekanan yang semakin besar dan kritis. Atas dasar itu, Dwikorita mendesak pemerintah segera melakukan langkah korektif dengan membuat sistem mitigasi dan adaptasi bencana.
Beberapa langkah yang harus dilakukan antara lain merevitalisasi daerah aliran sungai, restorasi hutan dan lahan gambut, dan reintegrasi tata ruang berbasis kerentanan bencana. "Kita tidak bisa mengubah topografi atau dinamika geologi Indonesia, tetapi kita dapat mengurangi faktor antropogeniknya."
.png)
1 day ago
1






















