Jakarta (ANTARA) - Langit Eropa membentang biru di musim semi. Bunga-bunga tulip mengembang mekar, mengisyaratkan kebangkitan dan secercah harapan.
Sebab di tahun 2025, musim semi bukan sekadar siklus rutin di ruang kosmos, namun juga gerak batin yang terpanggil oleh rangkaian tragedi dan derita kemanusiaan. Negara negara Eropa mulai dari Norwegia, Irlandia, Spanyol, Slovenia, dan belakangan Prancis, telah menentukan arah baru sejarahnya dengan mengakui Palestina sebagai negara berdaulat.
Terkhusus Prancis, Emmanuel Macron mengambil langkah strategis, simpatik, dan monumental dengan menjadi negara G7 pertama yang secara resmi mengakui kedaulatan Palestina.
Dengan pesan yang kuat dan powerful, Macron menyampaikan "Prancis memilih perdamaian yang adil, mengakui Palestina sebagai langkah menuju Solusi Dua Negara (Two State Solution)". Langkah ini bak nyanyian padu di musim semi, berisi seruan moral di tengah kritis tragedi kemanusiaan di Gaza. Dan Eropa, dengan pengalaman pertumpahan darah dan perang, kini menabur benih keadilan dan menantang arogansi politik Barat.
Hipokrisi Abraham Accords
Di tengah mekarnya musim semi Eropa, ada semacam disonansi yang suara sumbangnya terdengar jelas dari jazirah Arabia. Dunia Arab yang seyogyanya berada di garda depan menjadi corong solidaritas untuk Gaza, justru terseret arus hipokrisi Abraham Accords.
Kesepakatan yang sekitar tahun 2020 diinisiasi oleh Uncle Sam Amerika ini menyeret Bahrain, Uni Emirat Arab, Sudan, Maroko, dan Israel untuk saling bergandeng tangan secara terang-terangan. Bukan lagi main mata dan bertransaksi di balik meja.
Betapa pun kampanyenya adalah dalam rangka membangun jembatan perdamaian, namun nuansa meninggalkan Gaza sendiri-nya amat sangat terasa. Dunia Arab, yang sedianya adalah mikrofon bagi bergemanya suara kebebasan dan kemerdekaan untuk Palestina, terjebak ke dalam kompromi dan pragmatisme atas nama proteksi terhadap kepentingan nasional (national interest) yang kehilangan nilai (zero value).
Baca juga: RI: Waktunya wujudkan solusi dua negara berdasarkan perbatasan 1967
Iran dan Perlawanan Terhadap Zionisme
Di antara fenomena kontradiktif di atas, Iran hadir sebagai "the voice of human justice". Ayatollah Ali Khamenei tampil dengan gagah dan tegak sebagai ideolog dan inspirator perlawanan terhadap arogansi Israel dan hegemoni Barat.
Khamenei secara tegas menarasikan perjuangan Palestina sebagai jiwa dari Revolusi Islam Iran yang dulu panji-panjinya dikibarkan oleh inspirator pendahulunya; Khomeini. Bagi Khamenei, Palestina adalah denyut nadi umat Islam, dan perlawanan terhadap zionisme adalah panggilan moral.
Khamenei, dengan visi besar anti imperialisme dan penindasannya, menegaskan Iran sebagai mercusuar bagi negara maupun entitas manapun di dunia yang enggan tunduk pada kekuatan-kekuatan yang menndukung zionisme Israel.
Baca juga: Palestina sambut komitmen Inggris akui Negara Palestina di Sidang PBB
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.