TEMPO.CO, Jakarta - RENCANA pelibatan prajurit Tentara Nasional Indonesia dalam proyek pembangunan rumah sakit di wilayah rawan konflik Papua, berpotensi meningkatkan intensitas konflik bersenjata di Bumi Cenderawasih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti dari Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas, mengatakan daripada melibatkan militer, pemerintah sebaiknya kembali menerapkan pendekatan humanis dalam proyek tersebut.
"Bebasnya pilot Susi Air semestinya jadi preseden untuk menerapkan kebijakan di Papua," kata Cahyo saat dihubungi pada Selasa, 29 Juli 2025.
Menurut dia, pelibatan militer bukan hanya menyebabkan milisi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Pembebasan Papua atau TPNPB-OPM meradang, tapi juga berpotensi mengancam keselamatan masyarakat sipil.
Sebab, konflik bersenjata di Papua cenderung mengakibatkan korban jiwa di kalangan masyarakat sipil ketimbang dari dua kelompok yang berkonflik, baik TNI atau TPNPB. "Mengirim pasukan non-organik ke Papua sama saja membunyikan alarm perang kepada TPNPB," ujar dia.
Adapun pada 22 Juli lalu, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertahanan meneken kerja sama pembangunan 12 hingga 14 rumah sakit tipe C di sejumlah wilayah rawan konflik di Papua. Pembangunan ini akan melibatkan prajurit TNI.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menjelaskan alasan instansinya ingin melintakan militer dalam proyek pembangunan rumah sakit. Dia mengatakan pelibatan tersebut ditujukan agar pembangunan rumah sakit dapat berjalan lancar dan aman.
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengatakan proyek pembangunan rumah sakit ini dijadwalkan berlangsung pada 2026 mendatang dengan mengikuti skema Kementerian Kesehatan dan pelibatan satuan Zeni.
Masalahnya, TPNPB mengeluarkan ultimatum apabila proyek pembangunan tersebut dilakukan dengan melibatkan militer di dalamnya. Juru bicara TPNPB, Sebby Sambom, mengatakan milisinya telah diperintahkan untuk menyerang seluruh figur yang terlibat dalam proyek tersebut.
Sebab, kata dia, dengan adanya pelibatan militer, bukan tidak mungkin tenaga kesehatan dan kontraktor pembangunan gedung juga merupakan prajurit TNI. "Kami perintahkan untuk habisi semua karena itu bukan warga sipil lagi," kata Sebby.
Dihubungi terpisah, Koordinator Pastor Pribumi Setanah Papua, John Bunay, mengatakan, pengiriman pasukan non-organik ke Papua merupakan salah satu faktor yang menyebabkan TPNPB terus melakukan tindakan penyerangan.
Menurut dia, keberadaan TNI di Papua sama sekali tidak disukai oleh TPNPB, terutama di wilayah pegunungan. Alasannya, TPNPB menilai TNI sebagai musuh yang mesti diusir dari tanah leluhurnya. "Yang kami khawatirkan, ini akan semakin menyebabkan banyaknya korban jiwa," kata John.
Ia pun berharap agar pemerintah dapat mengkaji ulang proyek tersebut, yaitu dengan melibatkan tokoh agama dan masyarakat sebagai garis depan pengawal proyek pembangunan. "Yang kami ketahui, TPNPB tidak akan menyakiti orang asli Papua dan tokoh agama," kata dia.
Sebelumnya, pilot Susi air Philip Mark Mehrtens berhasil dibebaskan melalui jalur diplomasi usai hampir 20 bulan disandera milisi OPM pimpinan Egianus Kogoya.
Saat itu, mantan Penjabat Bupati Nduga Edison Gwijangge menjadi negosiator pembebasan Philip dengan merangsek masuk ke wilayah yang dipimpin Egianus di Kabupaten Nduga, dan Yahukimo, Papua Pegunungan.
Cahyo Pamungkas mengatakan, keberhasilan pembebasan Philip sudah semestinya menjadi preseden bagi pemerintah untuk meninggalkan pendekatan keamanan dan beralih pada pendekatan dialog untuk menyelesaikan konflik Papua. "Tidak harus menggunakan senjata," kata Cahyo.
Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI Mayor Jenderal Kristomei Sianturi mengatakan pelibatan militer dalam proyek pembangunan rumah sakit di Papua merupakan permintaan dari Kementerian Kesehatan.
Alasannya, dia menjelaskan, proses pembangunan di Papua acapkali terkendala faktor keamanan yang dilakukan milisi TPNPB. "Jadi, karena kami diminta untuk mensukseskan dan menjaga keamanan, ya kami harus lakukan. Ini demi rakyat bukan untuk siapa-siapa," kata mantan Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat itu.