ANGGOTA Komisi IV DPR Slamet mendorong revisi Undang-Undang atau UU Cipta Kerja buntut bencana ekologis di Pulau Sumatera pada penghujung November 2025 lalu. Legislator Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menyoroti bahwa banjir dan tanah longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat disebabkan deforestasi besar-besaran di Sumatera.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Slamet menyinggung laporan Auriga Nusantara melalui platform Simontini pada 2024 bahwa sebagian besar deforestasi di hutan lindung dan hutan produksi terjadi di daerah berizin. “Ketika kerusakan justru didominasi pemegang izin, itu artinya pengawasan negara tidak berjalan sebagaimana mestinya,” kata Slamet dikutip dari keterangan resmi di laman Fraksi PKS pada Sabtu, 6 Desember 2025.
Slamet mengatakan terbitnya UU Ciptaker dan Peraturan Pemerintah (PP) 23/2021 mengakibatkan izin pelepasan kawasan hutan untuk keperluan industri ekstraktif menjadi lebih mudah. Ia menyebut dengan adanya beleid itu tak perlu ada lagi persetujuan DPR untuk pelepasan kawasan hutan.
Kebijakan ini, menurut Slamet, melemahkan sistem kontrol sekaligus mengabaikan mandat menjaga minimal 30 persen kawasan hutan di tiap daerah. “Ketika fungsi kontrol DPR dihilangkan, maka izin-izin keluar tanpa ada keseimbangan pengawasan. Dampaknya kini kita lihat langsung dalam bentuk bencana ekologis,” kata dia.
Slamet mendesak pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh izin kehutanan dan pertambangan, memperkuat pengawasan lapangan, dan meningkatkan keberanian dalam penegakan hukum. Ia juga menegaskan pentingnya revisi UU Cipta Kerja guna mengembalikan mekanisme checks and balances serta menjaga kewajiban 30 persen tutupan kawasan hutan per wilayah.
Tanpa perubahan atas regulasi tersebut, Slamet mengkhawatirkan kerusakan ekologis di Sumatera dan daerah lain bakal membesar dan kembali menimbulkan korban. “Memang ini ada ruang yang sengaja dibuka oleh undang-undang ini. Maka kami setuju untuk dilakukan revisi Undang-Undang Cipta Kerja,” kata Slamet.
Adapun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi mencatat total deforestasi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat mencapai 1,4 juta hektare pada 2016–2024. Sementara itu, Yayasan Auriga Nusantara juga menempatkan Aceh dan Sumatera Utara dalam 10 provinsi dengan deforestasi terluas pada tahun lalu.
Auriga Nusantara mencatat bahwa total luas deforestasi di Sumatera meningkat hampir tiga kali lipat pada periode 2023–2024. Lembaga tersebut menyebut bahwa negara menjadi aktor utama bagi kerusakan hutan untuk investasi dan pembangunan dalam beberapa tahun terakhir.
Banjir dan tanah longsor telah meluluhlantakkan Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada November 2025. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan korban bencana ekologis yang melanda tiga provinsi itu kembali bertambah, per Sabtu, 6 Desember 2025.
Berdasarkan Geoportal Data Bencana Indonesia milik BNPB yang diakses Tempo pukul 13.03 WIB, korban meninggal akibat bencana ini mencapai 883 jiwa. Data yang sama juga mencatat sebanyak 520 jiwa dinyatakan hilang dan 4,2 ribu orang menjadi korban luka-luka.
.png)
3 days ago
1






















