Lampung Geh, Bandar Lampung – Laporan dugaan tindak pidana pencurian yang diajukan Sarimin ke Polresta Bandar Lampung sejak 28 Januari 2014 hingga kini belum jelas tindak lanjutnya.
Selama 11 tahun proses hukum kasus tersebut tidak menunjukkan perkembangan, bahkan pelapor telah meninggal dunia pada 2016.
Staf Divisi Sipil dan Politik YLBHI-LBH Bandar Lampung, M. Arif Ridho Tawakal yang mendampingi Istri almarhum Sarimin, Sariyem untuk meminta kepastian hukum kepada kepolisian.
Arif mengatakan, laporan tersebut dibuat almarhum Sarimin, suami Sariyem, pada 28 Januari 2014 dengan nomor: TBLK/C-1/370/I/2014/LPG/RESTA BALAM.
“Sejak laporan dibuat tahun 2014 sampai 2025 atau 11 tahun lamanya, tidak ada kejelasan proses hukumnya. Ibu Sariyem terus menanti kepastian hukum, meskipun suaminya sudah meninggal dunia pada 2016,” kata Arif, dalam keterangan pers, Jumat (19/9).
Menurut Arif, kasus ini sangat kontras dengan kriminalisasi delapan petani di Anak Tuha, Lampung Tengah.
Para petani tersebut dilaporkan perusahaan pemilik Hak Guna Usaha (HGU) PT BSA ke Polsek Padang Ratu. Hanya dalam waktu kurang dari 1x24 jam, polisi langsung mengeluarkan surat pemanggilan tahap penyidikan.
“Padahal perkara yang dilaporkan perusahaan masih terkait sengketa lahan antara petani dan perusahaan. Tetapi laporan itu langsung diproses cepat, sementara laporan masyarakat kecil bisa bertahun-tahun tanpa kepastian,” ujarnya.
LBH Bandar Lampung mencatat dalam dua tahun terakhir terdapat enam kasus serupa yang mengalami keterlambatan penanganan.
Kondisi tersebut dinilai mencerminkan praktik “undue delay” yang kerap menimpa kelompok miskin, perempuan, anak dan warga yang tidak paham hukum.
“Dalam hukum acara pidana, setiap laporan polisi harus diproses sesuai tahapan yang jelas, mulai penyelidikan hingga ke pengadilan. Polisi berkewajiban memberikan SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan) agar pelapor mengetahui perkembangan perkara. Tetapi kewajiban itu sering diabaikan,” jelasnya.
Arif menambahkan, kondisi ini harus menjadi catatan bagi institusi kepolisian untuk melakukan reformasi penegakan hukum.
Ia juga mengingatkan, pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) tidak boleh melemahkan prinsip perlindungan warga negara.
“Jika dalam praktik hukum acara yang berlaku sekarang saja masih banyak terjadi keterlambatan dan ketidakpastian, RKUHAP dengan pasal-pasal problematisnya bisa semakin memperburuk situasi. Hak masyarakat atas keadilan harus benar-benar dijamin,” pungkasnya. (Cha/Put)