Liputan6.com, Jakarta Mengelola stres bukan hanya soal menjaga kesehatan mental, tetapi juga penampilan. Lho kok bisa?
Saat pikiran terus-menerus berada di bawah tekanan, tubuh akan memproduksi hormon stres seperti kortisol dalam jumlah tinggi. Kondisi ini ternyata bisa mengganggu sistem kekebalan tubuh hingga menyerang folikel rambut, memicu kerontokan, bahkan kebotakan di beberapa bagian kepala.
Dosen Fakultas Kedokteran IPB University, dokter Riati Sri Hartini, MSc, SpKJ menjelaskan bahwa stres berkepanjangan dapat memperpanjang fase istirahat rambut dan mengurangi protein pada folikel. Alhasil kondisi ini membuat pertumbuhan rambut terganggu.
“Peningkatan kortisol akan mengurangi protein di folikel rambut dan memperpanjang fase istirahatnya. Pertumbuhannya akan terganggu dan siklus rambut menjadi tidak normal. Manifestasinya bisa berupa alopecia areata,” kata Rianti tayangan IPB Pedia di kanal YouTube IPB TV seperti tertulis di laman resmi IPB.
Alopecia areata adalah penyakit autoimun yang menyebabkan kerontokan rambut hingga membentuk kebotakan di beberapa bagian kepala.
Riati mengungkapkan alopecia areata tidak hanya berdampak pada penampilan, tetapi juga kesehatan mental. Banyak penderita mengalami penurunan rasa percaya diri, kecemasan, hingga depresi.
Stres, Picu Perilaku Cabuti Sendiri
Riati mengatakan stres juga dapat memicu perilaku mencabuti rambut sendiri. Dalam dunia medis hal ini dikenal dengan istilah trichotillomania.
Kondisi ini sering kali berkaitan dengan masalah psikologis yang mendasarinya, seperti depresi atau kecemasan.
Penderita merasa sulit untuk menahan keinginan mencabut rambut, seringkali mengalami ketegangan sebelum mencabut dan perasaan lega setelahnya. Pada kasus ini lokasi rambut yang dicabut bukan hanya kepala tapi alis, bulu mata, dan area lain tempat tumbuhnya rambut.
Trikotilomania dapat menyebabkan gangguan sosial, pekerjaan, dan fungsi lainnya dalam kehidupan penderita.
Namun, Riati menegaskan tidak semua orang yang mengalami stres akan mengalami kerontokan rambut. “Faktor risiko tidak hanya stres saja. Jika faktor lain tidak ada, kerontokan belum tentu terjadi,” jelasnya.
Penanganan Alopecia Areata
Riati mengatakan penanganan alopecia areata dapat dilakukan secara medis maupun psikologis.
Secara medis, dokter kulit dapat memberikan kortikosteroid dalam bentuk suntikan, oles, atau oral, obat perangsang pertumbuhan rambut, imunomodulator, maupun JAK inhibitor untuk menyeimbangkan protein.
Sementara itu, dari sisi psikologis, pengelolaan stres melalui gaya hidup sehat, relaksasi, yoga, meditasi, dan konsultasi dengan profesional menjadi langkah penting.
“Menjaga kesehatan mental sama pentingnya dengan menjaga fisik," kata Riati.
Mengingat pentingnya kesehatan mental bagi fisik maka jika ada masalah segera diatasi.
"Jika mengalami stres berat atau gejala kebotakan yang tidak biasa, segera cari bantuan profesional dan konsultasikan ke dokter,” pesan Riati.
2 Cara Mudah Mengurangi Stres
Ada beberapa teknik sebenarnya yang bisa dilakukan untuk mengurangi stres. Berikut diantaranya seperti mengutip TODAY.
1. Butterfly Hug
Butterfly hug adalah latihan terapeutik yang dapat membantu mengatasi kecemasan, stres, dan perasaan yang sedih.
“Mulailah dengan mengambil napas dalam-dalam beberapa kali. Gunakan lengan untuk menyilangkan dada, pastikan ujung jari tengah menyentuh tepat di bawah tulang selangka," saran Hillary Schoninger, LCSW.
Saat berada dalam posisi ini, pejamkan mata dan fokus pada pernapasan. Kemudian, tirulah visualisasi kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya di dada,"
“Melakukan butterfly hug akan membantu seseorang terhubung ke sisi sistem saraf yang lebih tenang, yang dikenal sebagai sistem parasimpatis,” jelas Schoninger.
2. Mindfulness Walk
Mindfulness walk adalah praktik sederhana yang dengan lembut mendorong kita ke berjalan kaki dalam kesadaran yang lebih besar akan masa kini. Hal ini dapat dilakukan di mana saja di sekitar rumah, di halaman belakang, atau di taman kompleks.
“Saat berjalan, perhatikan bagaimana tubuh bergerak dan merasakan, dan gunakan indra untuk memperhatikan sekeliling. Apa yang didengar, cium, rasakan, dan lihat?” kata Andrea T. J. Ross, PhD, asisten direktur klinis di Fakultas Ilmu Sosial dan Perilaku di University of Phoenix, Arizona, Amerika Serikat.
“Praktik ini memungkinkan pikiran untuk menyadari apa yang terjadi saat ini dan mengurangi kekhawatiran tentang masa depan atau masa lalu, sehingga mengurangi gejala stres.”