
PENGAMAT kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah menilai kebijakan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait pemblokiran rekening dormant atau yang tidak aktif digunakan selama tiga bulan telah meresahkan masyarakat.
Ia menilai tidak ada urgensi bagi PPATK untuk memblokir rekening dormant. Menurutnya, tidak semua nasabah melakukan transaksi selama tiga bulan.
"Tidak semua orang juga bertransaksi, karena mungkin sakit atau memang menyimpang uangnya. Kalau ini kan semuanya dipukul rata. Masyarakat jadi resah dan dibikin repot," kata Trubus kepada Media Indonesia, Kamis (31/7).
Trubus mendukung pemblokiran rekening yang terindikasi terlibat judi online atau kejahatan pidana lainnya. Namun, seharusnya PPATK tidak memukul rata semua nasabah yang tidak terlibat pidana lalu rekeningnya diblokir.
"Jadinya yang masyarakat biasa gitu kan direpotkan harus mengurus administrasi kembali kalau rekeningnya diblokir. Jadi memakan waktu, uang dan tenaga. Di sisi lain, masyarakat juga resah uang di rekening yang diblokir apa masih aman atau tidak. Itu yang jadi problem," katanya.
Maka dari itu, Trubus menilai PPATK harus bijak dan hati-hati mengeluarkan kebijakan terkait pemblokiran rekening. Bagaimana pun, kata ia, nasabah memiliki hak terhadap rekeningnya.
"Harus hati-hati dan ada konsultasi publik dulu. Kemudian mendengar masukan publik," katanya.
Sebelumnya, kebijakan pemblokiran rekening dormant bermula dari temuan PPATK terkait banyaknya rekening yang tidak aktif. PPATK mencatat ada 140 ribu rekening nganggur selama lebih dari 10 tahun dengan nilai mencapai Rp428,6 miliar. Kondisi itu dinilai membuka peluang terjadinya praktik pencucian uang dan tindak kejahatan keuangan lainnya, yang dapat merugikan kepentingan masyarakat.
Sebagai upaya perlindungan, pada 15 Mei 2025, PPATK menghentikan sementara transaksi pada rekening-rekening yang dikategorikan dormant hingga verifikasi dan pembaruan data selesai dilakukan. (M-3)