
KUASA Hukum dari dua korban kasus dugaan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) oleh mantan Rektor Universitas Pancasila, mendesak penyidik Polda Metro Jaya untuk mengubah sangkaan pasal. Langkah itu dinilai mutlak diperlukan agar sangkaan pasal sesuai fakta hukum dan demi memastikan keadilan bagi korban.
Kasus dugaan TPKS oleh mantan Rektor Universitas Pancasila telah bergulir 19 bulan di di Unit I Renakta Polda Metro Jaya. Korban merupakan dua karyawan Universitas Pancasila, berinisal RZ dan DF.
Kuasa hukum Amanda Manthovani SH., MH., dalam keterangan pers yang diterima Media Indonesia, Sabtu (16/8), mengungkapkan bahwa kedua korban menanggung beban psikis berat dan tekanan dari berbagai pihak. Kedua korban berharap penyidik lebih sigap dan profesional menuntaskan perkara ini.
Berdasarkan keterangan ahli psikolog dari Pusat Pelayanan Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P3A), korban RZ dipastikan mengalami dampak serius akibat TPKS. Hasil pemeriksaan juga mengungkap adanya relasi kuasa yang memperberat penderitaan korban—faktor krusial yang semestinya menjadi pertimbangan utama penyidik.
Atas dasar itu, kuasa hukum mendesak penyidik Polda Metro Jaya untuk mengubah sangkaan pasal dari Pasal 6 UU TPKS menjadi Pasal 6 huruf b, yang secara tegas mengatur tindak kekerasan seksual dalam konteks relasi kuasa antara atasan dan bawahan. Langkah itu dinilai mutlak diperlukan agar sangkaan pasal sesuai fakta hukum dan demi memastikan keadilan bagi korban.
Sebagai tindak lanjut, penasihat hukum akan mengajukan permohonan resmi untuk memperoleh salinan keterangan ahli tersebut dan mendesak dilakukannya Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terhadap para ahli tambahan—permohonan yang telah disampaikan secara tertulis kepada Penyidik Renakta Unit 1 Polda Metro Jaya.
Atas nama korban, kuasa hukum menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada semua pihak yang konsisten mendukung sosialisasi UU TPKS dari perspektif korban, gender, dan kuasa hukum. Dukungan dari berbagai elemen adalah bukti nyata keberpihakan kepada korban dan komitmen untuk membuat UU TPKS benar-benar bekerja.
“Momentum ini harus menjadi titik balik. Penegakan UU TPKS harus konsisten, berpihak pada korban, dan sensitif terhadap ketimpangan relasi kuasa. Jangan ada lagi korban yang kehilangan suara di tengah proses hukum,” tegas Amanda Manthovani. (RO/M-1)