IDEC 2025: Percepatan Inovasi untuk Ketahanan Kesehatan Gigi dari Kota hingga Daerah Terpencil

Liputan6.com, Jakarta - Ketahanan sistem kesehatan gigi menjadi salah satu isu penting yang kembali disorot dalam penyelenggaraan IDEC 2025. Tantangan besar seperti ketimpangan akses layanan, minimnya infrastruktur di daerah terpencil, dan meningkatnya angka penyakit gigi membuat sektor ini membutuhkan transformasi yang lebih cepat, terarah, dan merata.

Ketua IDEC 2025, Dr. drg. Himawan Halim, DMD, Sp.Ort., FICD, menegaskan, ketahanan sistem kesehatan gigi bukan hanya soal bagaimana fasilitas bertahan, melainkan kemampuan seluruh sektor. Mulai dari praktik dokter gigi hingga kebijakan nasional, untuk mengantisipasi dan merespons perubahan yang berkembang dari tahun ke tahun.

"Kesempatan ini adalah kesempatan kolektif untuk memperkuat kesehatan dan kebaikan masyarakat," ujar Himawan.

Menurutnya, tantangan utama saat ini adalah kesenjangan layanan gigi yang belum merata, perbedaan kualitas infrastruktur antarwilayah, serta meningkatnya kasus penyakit mulut seperti karies, periodontitis, dan kondisi pra-kanker. Ketimpangan inilah yang membuat ketahanan kesehatan gigi menjadi kebutuhan mendesak, bukan sekadar konsep.

Himawan menekankan bahwa teknologi memiliki peran penting dalam membangun ketahanan tersebut. Digitalisasi layanan kesehatan gigi harus dipandang sebagai kebutuhan dasar, bukan fitur tambahan yang hanya tersedia di fasilitas tertentu.

"Ini adalah kapasitas mendalam dari seluruh sistem kesehatan dental kita, dari latihan individu hingga kebijakan nasional," tambahnya.

Transformasi digital yang dimaksud meliputi penggunaan rekam medis elektronik, teknologi pencitraan modern, kecerdasan buatan untuk skrining awal, hingga tele-dentistry yang memungkinkan dokter gigi menjangkau masyarakat di wilayah dengan keterbatasan tenaga kesehatan.

Namun, kata Himawan, implementasi teknologi ini masih timpang. Banyak fasilitas, terutama di daerah terpencil, belum memiliki alat diagnostik memadai maupun infrastruktur digital yang stabil.

Perbedaan kondisi lapangan ini membuat kemampuan fasilitas dalam melakukan deteksi dini, perawatan, hingga pencegahan penyakit tidak sama.

Di kota besar, layanan lebih mudah diakses dengan dukungan teknologi dan sumber daya manusia yang memadai. Sebaliknya, di banyak daerah terpencil, klinik gigi masih mengandalkan peralatan sederhana.

Situasi tersebut diperparah dengan meningkatnya kasus penyakit gigi dan mulut di Indonesia pada anak maupun dewasa. Karies tetap menjadi yang paling dominan, disusul periodontitis dan infeksi akut lainnya.

Ketahanan sistem kesehatan gigi harus mampu menjawab lonjakan kebutuhan ini dengan pendekatan yang holistik. "Ketahanan adalah kemampuan menantikan dan mengembangkan solusi terhadap tantangan masa depan," kata Himawan.

IDEC 2025 hadir untuk mempercepat inovasi dan pemerataan pengetahuan. Tahun ini, panitia menyiapkan enam kelas pembelajaran teknis yang mengupas aplikasi klinis terbaru, teknologi digital, hingga manajemen pelayanan gigi.

Tujuannya agar setiap tenaga kesehatan dapat membawa pulang keterampilan yang langsung bisa diterapkan di fasilitas masing-masing.

Himawan juga menekankan bahwa rangkaian IDEC 2025 merupakan langkah penting untuk memetakan kapasitas sistem kesehatan gigi Indonesia saat ini.

Dengan pendekatan berbasis data, teknologi, dan pemerataan pelatihan, ketahanan sistem kesehatan gigi diharapkan semakin kuat dalam menghadapi perkembangan penyakit, kebutuhan masyarakat, dan tantangan kesehatan global di masa depan.