Liputan6.com, Jakarta - Sejarah pengawasan obat dan makanan di Indonesia telah dimulai jauh sebelum kemerdekaan. Meskipun Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) baru resmi berdiri pada tahun 2001, fungsinya sudah ada sejak era kolonial.
Hal ini disampaikan langsung oleh Kepala BPOM, Prof. Dr. Taruna Ikrar, M. Biomed., Ph.D, dalam acara "Bedah Buku Prof. Dr. Taruna Ikrar" pada Kamis, 21 Juli 2025.
Dia menegaskan bahwa keberadaan BPOM bukanlah lembaga baru atau 'abal-abal'. "Sejak abad ke-18, ketika Indonesia masih di bawah kekuasaan kolonial, pengawasan obat dan makanan sudah diterapkan oleh pemerintah Hindia-Belanda," ujar Taruna.
Menurutnya, saat itu pengawasan difokuskan pada keamanan pangan dan obat untuk kepentingan para kolonial.
"Pengawasan kefarmasian oleh Pemerintah Hindia-Belanda saat itu dibuat supaya makanan, minuman, dan sebagainya aman dikonsumsi. Tapi bukan untuk rakyat kita, melainkan untuk kepentingan kolonial agar mereka tidak sembarangan makan," tambahnya.
Gedung Garuda adalah Bukti Fisik Warisan Pengawasan Kolonial
Taruna juga menyinggung keberadaan Gedung Garuda, salah satu bangunan bersejarah yang kini menjadi bagian dari kantor BPOM.
Gedung tersebut dulunya merupakan klinik pada zaman kolonial, tempat dilakukannya uji coba tanpa standar uji klinis seperti sekarang.
"Gedung Garuda itu heritage. Dahulu itu klinik zaman kolonial. Di depannya ada Penjara Salemba, penjara kolonial juga. Di depan penjara itu klinik," kata Taruna.
Setelah Indonesia merdeka pada 1945, fungsi pengawasan tetap dilanjutkan. Lalu pada 1976, lembaga pengawasan ini secara resmi berada di bawah naungan pemerintah dan berubah status menjadi Direktorat Pengawasan Obat dan Makanan.
Taruna, menambahkan, suasana di Gedung Garuda masih terasa seperti masa lalu. Hal itu bahkan menjadi inspirasinya menulis buku tentang sejarah pengawasan obat dan makanan di Indonesia.
"Saya sering kerja sampai malam di ruangan itu. Kadang ada saja hal-hal misterius, seperti barang jatuh sendiri. Pernah juga saya melihat bule, tapi bukan orang sungguhan," katanya sambil tertawa.
Taruna juga bercerita pernah melihat penampakan anak kecil duduk di kursinya. "Saya melihatnya sendiri. Tapi mungkin tidak semua orang bisa melihat, mungkin saya punya ‘ilmu’ tersendiri soal itu," tambahnya.
Tantangan Digitalisasi di Era Modern
Seiring waktu, BPOM menjadi lembaga independen di luar Kementerian Kesehatan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001. Di era digital saat ini, BPOM menghadapi tantangan baru yang tidak kalah besar.
Salah satunya adalah kejahatan lintas negara yang masuk melalui dunia digital. Menurut Taruna, digitalisasi memudahkan penyebaran produk ilegal, termasuk obat dan makanan palsu.
"Hingga Juli 2025, BPOM telah menghapus 305.000 tautan yang terindikasi sebagai ancaman dalam bidang pengawasan obat dan makanan," katanya.
Dia memprediksi jumlah tersebut bisa mendekati jutaan tautan menjelang akhir tahun.
Taruna juga mengungkapkan bahwa lembaga pengawasan di Australia baru-baru ini melaporkan adanya produk makanan dengan kandungan vitamin B6 tinggi yang berbahaya bagi kesehatan.
Meski produk tersebut tidak terdaftar secara resmi di Indonesia, nyatanya produk itu tetap beredar di pasar online.
"Itu baru contoh dari produk vitamin. Belum lagi soal obat palsu, vaksin palsu, dan banyak lagi. Ini tanggung jawab besar yang sangat mulia dan harus dijalankan," pungkasnya.