Di sebuah rumah di Daerah Istimewa Yogyakarta, hidup seorang perempuan yang menjadi segalanya bagi anak-anaknya. Menjadi ibu, ayah, guru, sekaligus penjaga mimpi.
Kekuatannya nyata terpahat dalam cerita anak-anak yang belakangan ia besarkan sendirian. Ia adalah Prof. Dr. Mufdlilah, S.SiT., M.Sc, seorang ibu tunggal, yang berdiri kokoh di tengah berbagai terpaan hidup.
Pada 2007, ia kehilangan suami tercinta. Di tengah tubuh yang masih lemah dan jiwa yang remuk, ia harus memeluk keempat anaknya erat-erat karena mulai saat itu, hanya ia satu-satunya orang tua yang mereka miliki.
Sejak saat itu, fokus sang ibu hanya satu. Menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin. Meski penghasilannya sebagai dosen di Sekolah Tinggi Aisyiyah (saat ini Universitas Aisyiyah) tidak besar, ia tak pernah menawar urusan pendidikan.
Ia memisahkan antara kebutuhan rumah dan sekolah untuk memastikan semua keperluan anaknya tercukupi. Latar belakangnya sebagai bidan membuatnya tidak pernah abai pada kesehatan anak-anaknya. Ia selalu menyiapkan vitamin untuk memastikan anak-anaknya berangkat sekolah dalam keadaan sehat.
"Setiap pergi sekolah, selalu ada vitamin di samping uang saku," kenang dr Maharani, anak perempuan satu-satunya.
Perhatian itu menjadi simbol bahwa sang ibu selalu mencatat perkembangan anak-anaknya. Bukan hanya nilai rapor, tapi juga kesehatan dan kesiapan mereka menjalani hidup.
Ia percaya bahwa tubuh yang sehat akan membuat otak mampu menyerap ilmu dengan lebih baik. Karena itu, uang saku bukan hanya soal logistik, tapi bagian dari strategi besar ketahanan hidup.
Rumah Sebagai Sekolah Nilai
Rumah itu tak pernah sepi dari anak-anak, baik anak kandung maupun mereka yang datang membantu mengurus rumah. Tapi siapa pun yang singgah, tidak hanya disuruh bekerja. Mereka juga disekolahkan oleh ibu dan mendiang suaminya, baik dari uang pribadi maupun beasiswa.
Salah satu dari mereka kini menjadi guru PAUD di desanya sendiri. Ia berhasil menjadi lulusan sekolah guru usia dini yang didanai oleh keluarga itu.
Kasih sayang ibu dan bapak tidak hanya untuk anak-anaknya namun untuk semua yang bersedia membantu keluarganya di rumah.
Namun meski ada yang membantu, anak-anak ibu tidak pernah dimanja. Mereka tetap terlibat dalam pekerjaan rumah tangga, dari menyapu halaman hingga mencuci baju.
Disiplin dan tanggung jawab bukan hal yang diajarkan dengan kata-kata, melainkan lewat contoh dan kebiasaan sehari-hari. Dengan itu anaknya lebih mengerti tentang makna kehidupan.
Bagi mereka, ibu adalah definisi tekun. Sebab selain mengajar, ia aktif belajar ikut pelatihan, membaca buku, juga menulis.
Bahkan ibu membuat souvenir pernikahan untuk anaknya bukan sekadar cendera mata biasa, melainkan buku karangan ibu sendiri, tentang persiapan pernikahan, ASI, dan MPASI.
Ia juga dikenal sebagai sosok yang penuh kasih. Ia merawat mertuanya hingga akhir hayat, merawat ibu kandungnya, bude, hingga sang suami semua tanpa pamrih. Amalan ini menjadi bagian dari nilai-nilai yang diwariskan, bahwa perempuan harus berdaya, tapi juga harus punya hati.