El Fasher (ANTARA) - Saya berjalan di samping Nora Abdel Rahman pada 10 Agustus saat fajar menyingsing di area permukiman di sebelah selatan El Fasher, sebuah kota di wilayah Darfur, Sudan barat daya. Udara yang berlapis debu tebal membawa aroma logam yang menyiratkan keputusasaan.
Di usianya yang beranjak 35 tahun, tubuh kurus Nora mendorong gerobak kayu bermuatan karung tepung sorgum, muatan yang rapuh di lokasi di mana kelaparan lebih menyiksa dibandingkan perang.
Dulunya berprofesi sebagai guru yang menumbuhkan harapan lewat pena dan buku catatan, Nora kini menyusuri jalanan di antara rumah-rumah yang retak dan jendela yang disumpal kain perca. Saat kami berjalan berdampingan menapaki gang-gang sempit, saya melihat anak-anak berlindung di bawah naungan seadanya, mata kosong mereka mengamati gerobak yang didorong Nora. Saya merasakan keheningan yang menyesakkan, yang sesekali dipecahkan oleh rintihan seorang anak atau suara batuk lansia yang sedang sakit.
"Kenapa (melakukan) pekerjaan ini?" tanya saya kepada Nora. Dia berhenti, bersandar pada dinding yang rapuh, dan menyeka keringat di dahinya. "Hari saat sekolah ditutup karena pertempuran yang kian memanas, saya menyaksikan murid-murid saya pergi, beberapa di antaranya tidak yakin apakah mereka akan kembali. Beberapa tetangga datang mengetuk, meminta gula atau minyak. Saya teringat dengan buku catatan kelas saya ... kenapa tidak mengubahnya menjadi buku catatan lain? Buku catatan keluarga-keluarga yang kelaparan."
Dia lalu membuka lembaran lusuh dari buku catatan yang selalu dibawanya ke mana pun. "Saya mulai mencatat nama-nama. Orang-orang yang memiliki anak yang sakit, yang kehilangan pencari nafkah, para janda, lansia. Itu langkah pertama saya."
Menjelang tengah hari, Nora mulai melakukan pengiriman. Di rumah Um Nadir, lima anak berpegangan pada baju lusuh sang ibu saat pintu dibuka. Wajah sang ibu yang tampak kelelahan sedikit melunak ketika Nora menyerahkan tepung dan minyak. Kemudian, Nora berhenti sejenak untuk mengatur napas di depan pintu rumah Paman Hassan sebelum memberikan tepung dan lentil.
Di setiap tempat yang disinggahi, Nora akan menulis catatan penting: Minyak di sini habis. Anak-anak butuh sepatu. Ibu sakit, butuh obat.
Saat tengah hari, kami sampai di rumah lainnya. Nora meletakkan tepung dan gula di depan pintu tanpa sepatah kata. Syal berwarna kecokelatan miliknya melorot, dan sehelai rambutnya terpapar terik matahari. Pekerjaan ini, yang lahir dari inisiatif diri sendiri dan didukung oleh kemurahan hati para tetangga yang lebih berkecukupan, telah menjadi apa yang Nora sebut sebagai "semacam organisasi amal."

Saat bayangan memanjang pada senja hari, gerobak Nora telah kosong, dan kami pulang ke rumahnya. Sepatu Nora diselimuti debu. Bahunya terkulai kelelahan, namun hatinya terasa lebih ringan. Setelah menyandarkan gerobaknya, dia segera meletakkan buku catatannya di atas meja dan dengan tenang mulai merencanakan hari berikutnya.
Nora bercerita kepada saya bahwa tantangannya tiada henti, antara lain ketidakamanan yang meningkat akibat konflik selama bertahun-tahun, menipisnya stok tepung, dan keletihan mendalam yang dirasakannya sendiri.
Saat saya menanyakan tentang impiannya, dia tersenyum tipis. "Impian saya adalah kembali ke ruang kelas saya, melihat murid-murid saya makan sebelum mulai belajar, dan bahwa kata 'pengepungan' hanya ada dalam buku-buku sejarah, dibaca di sekolah-sekolah yang aman."
"Kelaparan tidak dapat mengalahkan masyarakat yang tetap bersatu. Tiap kali saya mendengar kabar seorang anak meninggal akibat malanutrisi, saya selalu menulis lebih banyak nama, seolah bertekad jangan ada lagi orang yang meninggal tanpa kabar," ujar Nora.
Konflik di Sudan meletus pada April 2023 saat perebutan kekuasaan antara Angkatan Bersenjata Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat (Rapid Support Forces/RSF) menghancurkan infrastruktur negara itu, menewaskan puluhan ribu warga, memaksa jutaan orang lainnya mengungsi, dan menciptakan krisis kemanusiaan yang parah. El Fasher, kota besar terakhir yang belum dikuasai oleh RSF di wilayah Darfur yang sangat luas, telah menjadi pusat konflik dan dikepung RSF sejak Mei 2024.
Sejak saat itu, harga biji-bijian melonjak tak terkendali. Sebagian besar dapur umum, yang dikenal secara lokal sebagai "takaya", telah ditutup. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan jaringan bantuan setempat memperingatkan terjadinya krisis kemanusiaan yang "sangat parah" di kota tersebut. Hampir 40 persen anak berusia di bawah lima tahun menderita malanutrisi akut, termasuk 11 persen yang menghadapi ancaman kematian.
Selain gerobak Nora, saya menemukan berbagai tindakan kebaikan lainnya di kota yang menyaksikan tragedi kemanusiaan kian memburuk tersebut. Di area permukiman Al-Karanik, Zainab Ishaq mengaduk sepanci asidah setiap sore. Tanpa daging dan bawang, namun aroma samar bubur tersebut tetap memikat setiap anak yang lapar di sekitarnya.
"Tepung langka, dan bahan-bahannya sederhana," ujarnya kepada saya, sembari menghidangkan porsi yang sederhana. "Namun, bagaimana bisa saya menutup pintu saya saat mendengar anak tetangga menangis? Satu suapan bisa berarti banyak bagi mereka. Kelaparan menyatukan kami; kelaparan tidak memecah belah kami."
Melalui buku catatan Nora dan panci Ishaq, saya menyaksikan keajaiban, betapa tangan manusia masih memberikan makanan bahkan saat bantuan kemanusiaan itu sendiri telah menjadi sasaran. Janji yang ditulis tangan tersebut dan kemurahan hati bisa jadi merupakan penyelamat nyawa yang paling penting. Namun, berapa lama mereka akan bertahan, tak seorang pun dapat menebaknya.
Penerjemah: Xinhua
Editor: Azis Kurmala
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.