Beberapa waktu terakhir, kita bisa melihat sebuah perubahan kecil namun menarik di lingkungan kerja pemerintahan. Semakin banyak pegawai negeri bermain tenis.
Lapangan yang dulu lengang kini menjadi tempat berhenti sejenak dari ritme birokrasi. Pagi sebelum kantor atau senja setelah pekerjaan selesai, orang-orang berseragam berkumpul, memantulkan bola hijau yang bergerak pelan namun pasti.
Fenomena ini bukan sekadar tren olahraga. Ia menunjukkan bagaimana pegawai negeri mencari cara untuk tetap merasa menjadi manusia di tengah sistem yang serba-prosedural.
Dalam lingkungan kerja yang diatur hierarki dan aturan, kita sering hadir secara fisik tanpa benar-benar hadir sebagai diri utuh. Tenis menuntut kehadiran penuh.
Di lapangan, seseorang tidak bisa berpura-pura. Ketika bola datang, pikiran tidak bisa mengembara ke notula rapat, formulir, angka serapan anggaran, atau target pelayanan. Napas harus selaras dengan langkah. Raket harus diayunkan dengan kesadaran. Tubuh harus mengikuti momen. Tenis menjadi latihan untuk kembali merasakan diri sendiri.
Gagasan ini mengingatkan pada sebuah ruang kecil yang pernah kami rawat bersama, Club 722 Bossanova. Sebuah ruang yang tidak memberi tuntutan apa pun selain menjadi hadir.
Tidak perlu tampil paling baik, tidak perlu menjadi versi ideal dari diri sendiri. Ada keyakinan sederhana di sana bahwa sesuatu yang pelan dan jernih dapat memberi jarak, agar seseorang kembali mengenali dirinya dengan lembut.
Bossanova menjadi contohnya. Musik yang tidak memaksa emosi, tidak pula memerintah seseorang untuk larut. Ia hanya hadir. Namun justru dari kehadiran yang tenang itu, orang dapat melihat dirinya sendiri dengan lebih jernih.
Tenis bagi pegawai negeri memiliki sifat serupa. Lapangan membuat hierarki yang biasanya kaku di kantor menjadi cair. Kepala seksi bisa gagal membaca bola. Staf pelaksana bisa mengembalikan servis dengan lebih baik. Tawa muncul tanpa perhitungan jabatan. Tidak ada meja rapat, tidak ada struktur bicara, tidak ada kalimat formal yang harus dirapikan lebih dulu. Yang tersisa adalah manusia yang saling menyapa.
Relasi semacam ini penting. Banyak masalah birokrasi tidak berasal dari kurangnya kemampuan teknis, tetapi dari hubungan sosial yang renggang, komunikasi yang kaku, atau perasaan tidak setara.
Lapangan tenis memulihkan itu secara perlahan, tanpa jargon pembinaan dan tanpa seminar motivasi. Bekerja bersama terasa lebih mudah ketika orang saling melihat sebagai sesama manusia.
Tenis juga mengajarkan konsistensi yang pelan. Tidak ada pukulan yang langsung sempurna. Perbaikan lahir dari pengulangan yang tidak dramatis, sedikit demi sedikit, hari demi hari.
Birokrasi yang sehat tumbuh dari kebiasaan yang serupa. Pelayanan publik tidak membaik karena slogan, melainkan karena kebiasaan kerja yang dirawat tanpa tergesa.
Yang paling penting, tenis memberi ruang untuk bernapas. Bukan pelarian dari tugas, tetapi jeda untuk kembali bekerja dengan kepala yang lebih jernih.
Pegawai yang bisa tertawa satu jam di lapangan dan hari esok akan kembali ke meja kerjanya dengan beban yang lebih ringan. Hal itu terlihat dan terasa tanpa perlu argumentasi yang rumit.
Masyarakat wajar berharap birokrasi yang bersih, cepat, dan peka. Namun tuntutan itu hanya mungkin dipenuhi jika orang-orang di dalam birokrasi masih merasa menjadi manusia. Tidak lelah sampai mati rasa. Tidak tenggelam dalam rutinitas yang menumpulkan hati dan rasa ingin hidup.
.png)
3 weeks ago
11






















